Monday 3 November 2014

Tentang perhatian

Malam itu saya, dan si sulung berada di depan TV. Putera kami sedang sibuk dengan proyeknya membuat lampu sorot untuk sepedanya. Dia belajar mengupas kabel, yang memang menurut saya kualitas shieldnya bagus, sehingga butuh banyak effort untuk bisa mengelupasnya. Berkali-kali gagal karena bukan hanya selubungnya yang terkelupas, namun sampai serat kabel didalamnyapun ikut terpotong.

Saya sendiri sedang menyimak acara Mario Teguh. Ada sebuah episode dimana seorang ibu muda diambang perceraiannya yang menurutnya karena dia dan suami punya ego yang tidak bisa diketemukan. Menariknya dia sempat mengutarakan perbedaan kehidupan rumah tangga antara orang tuanya dengan orang tua dari pihak suami. Menurutnya orang tuanya adalah cermin kehidupan yang harmonis, hampir tidak ada pertengkaran di dalamnya. Sedangkan kehidupan orang tua suaminya banyak hari-harinya yang dihiasi oleh pertengkaran. Namun demikian, ibu mertuanya setiap harinya masih memasak sendiri untuk keperluan makan keluarganya. Berbeda dengan kehidupannya yang memang tidak sempat memasak untuk suami karena alasan kerja. Sumber pertengkaran mereka adalah ajakan suaminya untuk tinggal bersama orang tuanya dibanding di rumah yang telah si istri beli jauh sebelum mereka menikah. Setelah ditanya apa motivasi menikahnya, ternyata ibu muda itu mengatakan bahwa dia sudah didesak ortunya untuk segera menikah agar ada yang menjaga di Jakarta, mengingat usianya yang sudah menginjak 27 th. Akirnya ibu muda itu mengaku bahwa dirinya yang mendesak si suami utk segera menikahinya. Menurut sang motivator, bisa jadi Tuhan mengabulkan permohonan hambanya yang berdasarkan nafsu dalam hal ini untuk menikah, dibanding meniatkan menikah dengan ikhlas demi beribadah kepadaNya. Dan ibu muda itu punya cara pandang sendiri bahwa hidup menjanda tidak apalah, karena Tuhan selalu bersama hambanya...sedemikian mudah yaa, alasan untuk mengakhiri rumah tangga, karena ego masing-masing yang tidak bisa bertunduk pada alasan-alasan syar'i. Bahkan sampai tersesatpun, jika tidak punya peta jalan hidup (Al Quran dan As Sunnah) akan merasa tidak tersesat.

Yang selanjutya, diluar perkiraan saya, si sulung bertanya, "Bi, apa beda pacaran dengan Ta'aruf? Apakah dulu abi juga taaruf?" Ternyata si sulung ikut mendengarkan dialog-dialog yang di TV. Karena sering disebut-sebut kata pacaran. Akhirnya dengan menimbangdan mencari-cari kata-kata yang pas buat anak usia 11 tahun, saya jawab pertanyaanya. Beberapa saat kemudian istri juga ikut nimbrung, dan saya diskusikan ke istri pertanyaan anak kami tadi. Kamipun tertawaringan mengingat bagaimana pertemuan kami dahulu.

So...Al Qudwah Qobla Dakwah memang seharusnya dipegang oleh dai dimanapun dia berada. Tidak hanya di depan publik, namun terutama dalam keluarga kecilnya. Seperti pada Hasan Al Basri kita bisa bercermin bagaimanametode dakwahnya, yang demikian kuat bisa menembus relung-relung hati terdalam dari obyek dakwahnya. Sampai-sampai istri amirul mukminin mengatakan bahwa dialah (Hasan Al Basri)  yang sebenarnya seorang raja, bukan suaminya. Karena setiap perkataan Hasan Al Basri pasti akan diikuti dan ditaati oleh seluruh kaum muslim.

No comments:

Post a Comment