Tuesday 21 August 2018

Tentang sepakbola

Senja kala itu dengan pastinya menurunkan tirai redup lembayung yang membawa serta pasangan sejatinya sang gelap malam berangsur dan berangsur dan berangsur.

Berirtingan dengan sepulang kami menjemput si bungsu yang berlatih di SSB (sekolah sepakbola) yang dijalaninya 3x seminggu.  Saya mengira bermainnya telah terlalui penuh dengan kegembiraan. Namun itu hanya imajinasi harian yang sedang bergerak ke arah yang salah. Seminggu kemudian barulah terungkap sejatinya. Dia bercerita, bahwa sore itu hatinya telah terluka.

Seminggu kemudian, saat kami bersiap untuk berangkat lagi menuju lapangan untuk berlatih, dimulailah ceritanya dengan isak tangis yang membuat hati ini juga teriris.
Hmmm... terlalu dramatis ya? Tapi memang mendekati itulah kalau melihat anak menangis sembari menahan emosi yang telah dipendamnya selama itu.

 "Ada apa nak?" tanyaku disela isaknya. "Aku mau keluar dari SSB, tidak mau latihan lagi disana", begitu jawabnya.

Maka memori 4 bulan yang lalu kembali terputar. Pernah suatu waktu kami bincangkan, saat si bungsu ngotot ingin masuk SSB. Itu terjadi sekitar 4 bulan yang lalu. Saat itu kami benar-benar tidak bisa menahan dia untuk berpikir ulang agar tidak masuk SSB, karena menurut kami itu paling keinginan sesaat saja yg nanti hilang setelah seminggu berjalan. Memori tersebut tiba-tiba menyembul saja.

Saya pun kembali mengingatkannya, " Abi pernah bilang kan? kalau minimal adik ikuti selama 6 bulan, baru kemudian boleh untuk berpikir ulang mau lanjut menjadi hobi atau tidak. Kenapa sekarang sudah mau keluar, berikan abi alasan yang kuat untuk itu?". Tetes air mata itupun keluar mengalir di pipinya, dan keluarlah kata-katanya yang membuat iba, " Waktu latihan terakhir, pelatih bilang Goblok ke aku. Saat aku tidak bisa menendang bola ke arah atas, karena tendanganku hanya mendatar saja, dan selama game beralangsung, Teman latihanku juga sering bilang goblok juga ke aku".

Mendengar alasannya itu, tanpa berpikir lebih lama, sayapun meluluskan permintaannya, sembari berkata,"Nak , kalau teman-temanmu itu bilang seperti itu, mungkin di rumah mereka sering mendengar hal itu, atau saat dilapanganpun pelatihnya juga berkata seperti itu. Tidak semua orang seperti kita, yang tidak membolehkan kata itu terlontar keluar dari mulut kita, baik untuk mengatai diri sendiri maupun untuk orang lain. Tapi kalau sampai di lapangan pelatihmu yang melontarkan kata-kata itu, maka dia selayaknya anak-anak belum bisa memilih kata-kata, walaupun umurnya sudah tua dan telah menjadi pelatih. Itu tidak patut. Abi setuju kalau kamu keluar SSB, karena tidak akan baik kalau kamu terus bersama pelatih yang tidak bisa menjaga kata-katanya yang akan dicontoh anak. 

Setelah kejadian itu, saya berpikir ulang, berapa banyak anak-anak yang tidak beruntung bertemu dengan pelatih yang membuatnya patah hati, ataupun kalau tidak patah hati mereka mencoba bertahan dengan perlakuan verbal yang menyakitkan sehingga mereka telah terbiasa dan juga melakukan hal seperti yang dicontohkan pelatihnya. Berapa banyak, anak-anak yang berbakat kemudian tidak lagi berselera untuk melanjutkan latihannya.

Mungkin tidak ya, kalau mencari klub lain yang mempunyai pelatih berakhlak karimah yang baik. Bahkan lebih jauh lagi, bikin sendiri saja SSB, buat standar akhlak dan keimanan dalam latihannya, pemainnya, dan tentu pelatihnya. Why not ..smile.

Jadikan Peristiwa sebagai guru yang baik, membuat kita menjadi lebih baik, bukan berlalu dan terulang jatuh dalam lobang yang sama