Mari kita simak tulisan gurunda :
Mooryati Soedibyo, Dian Sastro, dan Metakognisi Susi Pudjiastuti
Rhenald Kasali (@Rhenald_Kasali)
KOMPAS.com —
Saya kebetulan mentor bagi dua orang ini: Dian Sastro dan Mooryati
Soedibyo. Akan tetapi, pada Susi Pudjiastuti yang kini menjadi menteri,
saya justru belajar.
Ketiganya perempuan hebat, tetapi selalu diuji oleh sebagian kecil orang yang mengaku pandai. Entah ini stereotyping, atau soal buruknya metakognisi bangsa. Saya kurang tahu persis.
Mooryati Soedibyo
Sewaktu
diterima di program doktoral UI yang pernah saya pimpin, usianya saat
itu sudah 75 tahun. Namun, berbeda dengan mahasiswa lain yang datang
pakai jins, dia selalu berkebaya. Anda tentu tahu berapa lama waktu yang
diperlukan untuk berkebaya, bukan?
KOMPAS/AGUS SUSANTO Mooryati Soedibyo, pengusaha jamu dan kosmetika tradisional
Akan tetapi, ia memiliki hal yang tak dimiliki orang lain:
self discipline.
Sampai hari ini, dia adalah satu-satunya mahasiswa saya yang tak pernah
absen barang sehari pun. Padahal, saat itu ia salah satu pimpinan MPR.
Memang
ia tampak sedikit kewalahan "bersaing" dengan rekan kuliahnya yang jauh
lebih muda. Akan tetapi, rekan-rekan kuliahnya mengakui, kemajuannya
cepat. Dari bahasa jamu ke bahasa
strategic management dan
science yang banyak aturannya.
Teman-teman belajarnya bersaksi: "Pukul 08.00 malam, kami yang memimpin diskusi. Tetapi pukul 24.00, yang muda mulai
ngantuk, Ibu Moor yang memimpin. Dia selalu mengingatkan tugas harus selesai, dan tak boleh asal jadi."
Masalahnya, ia pemilik perusahaan besar, dan usianya sudah lanjut. Ada
stereotyping dalam
kepala sebagian orang. Sosok seperti ini jarang ada yang mau kuliah
sungguhan untuk meraih ilmu. Nyatanya, kalangan berduit lebih senang
meraih gelar doktor HC (
honoris causa) yang jalurnya cukup ringan.
Akan
tetapi, Mooryati tak memilih jalur itu. Ia ingin melatih kesehatan
otaknya, mengambil risiko dan lulus 4 tahun kemudian. Hasil
penelitiannya menarik perhatian Richard D’aveni (Tuck School-USA), satu
dari 50 guru strategi teratas dunia. Belakangan, ia juga sering diminta
memaparkan kajian risetnya di Amerika Serikat, Belanda, dan Jerman.
Meski
diuji di bawah guru besar terkemuka Prof Dorodjatun Kuntjoro Jakti,
kadang saya masih mendengar ucapan-ucapan miring dari orang-orang yang
biasa menggunakan kacamata buram dan lidahnya pahit. Ada saja orang yang
mengatakan ia "diluluskan" dengan bantuan, "sekolahnya hanya dua
tahun", dan seterusnya. Anehnya, kabar itu justru beredar di kalangan
perempuan yang tak mau tahu keteladanan yang ia tunjukkan. Kadang ada
juga yang merasa lebih tahu dari apa yang sebenarnya terjadi.
Akan
tetapi, ada satu hal yang sulit mereka sangkal. Perempuan yang meraih
doktor pada usia 79 tahun ini berhasil mewujudkan usahanya menjadi besar
tanpa fasilitas. Perusahaannya juga
go public. Padahal, yang
menjadi dosennya saja belum tentu bisa melakukan hal itu, bahkan membuat
publikasi ilmiah internasional saja tidak. Namun, Bu Moor juga berhasil
mengangkat reputasi jamu di pentas dunia.
Dian SastroDia
juga mahasiswi saya yang keren. Sewaktu diterima di program S-2 UI,
banyak juga yang bertanya: apa benar artis mau bersusah payah belajar
lagi di UI?
Anak-anak saya di UI tahu persis bahwa saya memang cenderung bersahabat, tetapi mereka juga tahu sikap saya: "
no bargain on process and quality".
KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI Model dan artis peran Dian Sastrowardoyo
Dian, sudah artis, dan sedang hamil pula saat mulai kuliah.
Urusannya banyak: keluarga, film, dan seabrek tugas. Namun lagi-lagi,
satu hal ini jarang dimiliki yang lain:
self discipline. Ia tak pernah abai menjalankan tugas.
Sebulan yang lalu, setelah lulus dengan
cum laude dari MM UI, ia berbagi pengalaman hidupnya di program S-1 pada kelas yang saya asuh.
"Saat ayah saya meninggal dunia, ibu saya berujar: kamu bukan anak orang kaya. Ibu tak bisa menyekolahkan kalau kamu tidak
outstanding," ujarnya.
Ia
pun melakukan riset terhadap putri-putri terkenal. Di situ ia melihat
nama-nama besar yang tak lahir dari kemudahan. "Saya tidak cantik, dan
tak punya apa-apa," ujarnya.
Dengan uang sumbangan dari para
pelayat ayahnya, ia belajar di sebuah sekolah kepribadian. Setiap pagi,
ia juga melatih disiplin,
jogging berkilo-kilometer dari
Jatinegara hingga ke Cawang, ikut seni bela diri. "Mungkin kalian tak
percaya karena tak pernah menjalaninya," ujarnya.
Itulah mental kejuangan, yang kini disebut ekonom James Heckman sebagai kemampuan nonkognisi. Dian lulus
cum laude dari S-2 UI, dari ilmu keuangan pula, yang sarat matematikanya. Padahal, bidang studi S-1 Dian amat berjauhan: filsafat.
Metakognisi SusiSekarang
kita bahas menteri kelautan dan perikanan yang ramai diolok-olok karena
"sekolahnya". Beruntung, banyak juga yang membelanya.
Khusus terhadap Susi, saya bukanlah mentornya. Ia terlalu hebat. Ia justru sering saya undang memberi kuliah. Dia adalah "
self driver"
sejati, yang bukan putus sekolah, melainkan berhenti secara sadar.
Sampai di sini, saya ingin mengajak Anda merenung, adakah di antara kita
yang punya kesadaran dan keberanian sekuat itu?
SABRINA ASRIL/KOMPAS.com Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
Akan tetapi, berbeda dengan kebanyakan orangtua yang membiarkan anaknya menjadi "
passenger",
ayah Susi justru marah besar. Pada usia muda, di pesisir selatan yang
terik, Susi memaksa hidup mandiri. Ditemani sopir, ia menyewa truk dari
Pangandaran, membawa ikan dan udang, dilelang di Jakarta. Hal itu
dijalaninya selama bertahun-tahun, seorang diri.
Saat saya
mengirim mahasiswa pergi "melihat pasar" ke luar negeri yang terdiri
dari tiga orang untuk satu negara, Susi membujuk saya agar cukup satu
orang satu negara. Saya menurutinya (kisah mereka bisa dibaca dalam buku
30 Paspor di Kelas Sang Profesor).
Dari usaha
perikanannya itu, ia jadi mengerti penderitaan yang dialami nelayan. Ia
juga belajar seluk-beluk logistik ikan, menjadi pengekspor, sampai
terbentuk keinginan memiliki pesawat agar ikan tangkapan nelayan bisa
diekspor dalam bentuk hidup, yang nilainya lebih tinggi. Dari ikan,
jadilah bisnis carter pesawat, yang di bawahnya ada tempat penyimpanan
untuk membawa ikan segar.
Dari Susi, kita bisa belajar bahwa
kehidupan tak bisa hanya dibangun dari hal-hal kognitif semata yang
hanya bisa didapat dari bangku sekolah. Kita memang membutuhkan
matematika dan fisika untuk memecahkan rahasia alam. Kita juga butuh
ilmu-ilmu baru yang basisnya adalah kognisi. Akan tetapi, tanpa
kemampuan nonkognisi, semua sia-sia.
Ilmu nonkognisi itu
belakangan naik kelas, menjadi metakognisi: faktor pembentuk yang paling
penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausaha kelas dunia,
dan praktisi-praktisi andal. Kemampuan bergerak, berinisiatif,
self discipline,
menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu
membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari
"pintu" adalah fondasi penting bagi pembaharuan, dan kehidupan yang
produktif.
Manusia itu belajar untuk membuat diri dan bangsanya
tangguh, bijak mengatasi masalah, mampu mengambil keputusan, bisa
membuat kehidupan lebih produktif dan penuh kedamaian. Kalau cuma bisa
membuat keonaran dan adu pandai saja, kita belum tuntas mengurai
persepsi, baru sekadar mampu mendengar, tetapi belum bisa menguji
kebenaran dengan bijak dan mengembangkannya ke dalam tindakan yang
produktif.
Ketiga orang itu mungkin tak sehebat Anda yang senang
melihat kecerdasan orang dari pendekatan kognitif yang bermuara pada
angka, teori, ijazah, dan
stereotyping. Akan tetapi, saya harus
mengatakan, studi-studi terbaru menemukan, ketidakmampuan meredam rasa
tidak suka atau kecemburuan pada orang lain, kegemaran menyebarkan
fitnah dan rasa benar sendiri, hanya akan menghasilkan kesombongan diri.
Anak-anak
kita pada akhirnya belajar dari kita, dan apa yang kita ucapkan dalam
kesaharian kita juga akan membentuk mereka, dan masa depan mereka.
Prof Rhenald Kasali adalah
Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria
bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki
pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK
sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah
Perubahan, yang menjadi role model
dari social business
di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship
dan kemandirian. Saat ini, dia juga maju sebagai kandidat Rektor Universitas Indonesia. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers.