Tuesday 18 November 2014

Tentang Peringatan



Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al Quran).

(QS Taha (20): 99)

Allah karuniakan visualisasi bagi seluruh indera kita untuk mencerap gambaran masa depan dari kisah-kisah masa lalu juga kisah-kisah masa depan. 

Rabb jagalah kami untuk tetapi jalanMu dan jangan palingkan kami darinya setelah sedemikian terang Engkau tunjukkan petunjuk-petunjukMu.

Tuesday 11 November 2014

Tentang doa nabi Ayyub

Allah berfirman dalam Al-Quran:

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“(ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang".

(QS. Al-Anbiya: 83)

Tentang Pahlawan

Pahlawan tidak selalu harus menjadi nama suatu jalan, demikianpun penyematan gelarnya tidak selalu harus melalui  seremoni  penganugerahan oleh Presiden.

Bagi saya pahlawan bisa siapa saja yang mempunyai rekam jejak dan berimplikasi pada kebaikan bagi orang lain. Pahlawan adalah seseorang yang bisa dituturkan perilakunya oleh orang terdekatnya, bisa dituturkan oleh anaknya, dituturkan oleh isterinya, dituturkan oleh suaminya, dituturkan oleh orang tuanya, dituturkan oleh saudaranya, bahkan oleh teman ataupun tetangganya.

Bagi saya arti yang sederhana dari kata pahlawan adalah orang yang membuat rindu serindunya bila tak segera menjumpanya. Orang yang memberi semangat berkebaikan walau hanya sekedar mengingat kenanginya. Orang yang dalam senyapnya sebenarnya bertutur banyak kebajikan untuk ditiru dalam amal keseharian. Orang yang dalam kerjanya mendahului kata, banyak berpeluh tiada mengeluh, contohi tiada minta dicontoh. Orang yang diamnyapun adalah menggerakkan.

Pahlawan bagi bangsa seharusnya juga pahlawan bagi tetangganya, juga pahlawan bagi kerabatnya, juga pahlawan bagi adik dan kakaknya, juga pahlawan bagi orang tua dan anaknya, juga pahlawan bagi alam, tumbuhan dan hewan disekitarnya, Pahlawan bagi Isteri atau suaminya. Sudahkan kita menjadi pribadi yang terekam sebagai sosok pahlawan bagi orang-orang terdekat kita? Ijinkan saya sampaikan arti pahlawan itu dari kacamata seorang ayah:

Selepas perjalanan luar kota, kami sampai dirumah dengan rasa penat dan kantuk yang sangat. Perjalanan menyusuri punggungan Ungaran dan Merbabu kami mulai pukul 4 sore. Pengalaman pertama bagi kami sekeluarga yang sesore itu melewati jalanan tanpa lampu penerangan di pinggir jalan. Dan kami putuskan untuk jamak takhir maghrib dan isya sesampainya dirumah agar tidak terlalu malam melalui jalanan gelap itu.

Apa mau dikata, begitu masuk rumah, kami sudah terlelap entah dimana. Saya sendiri sudah ambruk begitu masuk ruang tengah. Sampai kemudian tidur saya diusik tangan kecil yang menggoyang-goyang lengan dan berkata, "Bi, aku belum sholat Maghrib dan Isya". Saya buka mata, ternyata putri kami yang membangunkan. Saya lihat jam di dinding dan sudah menunjukkan jam 23.30. Sayapun segera menjawab, "Ya nak, abi juga belum, yuk kita sholat bareng". Selesai menunaikan sholat, saya lihat putri kami menyiapkan satu persatu perlengkapan sekolahnya untuk esok hari, dari mulai buku-bukunya sampai seragam dan jilbabnya. Sampai dia menanyakan ke saya tentang jilbabnya, "Apa jilbab ini terlihat kusut?" Setalah saya amati, saya jawab,"Ya kusut". Tanpa banyak berkata lagi dia persiapkan setrika dan alasnya, dia hanya minta saya untuk menghubungkan setrika dengan kontak listrik di dinding. Karena memang kami belum memperbolehkan anak-anak untuk mandiri kalau terkait dengan listrik. Selesai mensetrika, putri kamipun minta ijin gosok gigi dan tidur. 

Saya lepas anak saya ke alam tidurnya dengan melantunkan doa sebelum tidur. Saya pandangi wajahnya dan renungi pelajaran dini hari itu. Saya hanya bilang Nak, walaupun usiamu masih 8 tahun, kamu pahlawanku hari ini. Engkau ajarkan makna Laa Lighod illal Jannah (tiada masa depan kecuali surga) dengan tanpa banyak berkata-kata. Engkau ajarkan makna kata "bersiap" pada abahmu yang sering lalai dengan kata itu.


Maka anak-anak sayapun adalah pahlawan yang hidup bagi saya.

Sabtu siang itu saya dan putra bungsu kami berjamah dhuhur di masjid Balaikota. Masjid itu menjadi favorit anak-anak kami selain karena dekat dengan rumah, juga punya tempat luncuran. Demikian anak kami menamakan sebuah tempat tinggi yang merupakan pintu gerbang masjid yang bisa digunakan untuk meluncur turun berkendara sepeda mereka. Selalu setiap selesai sholat berjamaah, si bungsu menanyakan, "Sholat Rawatib tidak?" karena saat itu kami selesai sholat dhuhur maka saya jawab " Iya, 2 rakaat". Di luar kebiasaannya, ternyata tanpa berkata-kata lagi, dia langsung berdiri mencari tempat, dan selanjutnya  melaksanakan sholat rawatib bakdiyah dhuhur. Sayapun dalam beberapa detik mentakjubinya, Masya Allah. Begitulah seharusnya setiap diri kita, setelah mendapatkan ilmu, maka selanjutnya mengamalkannya tanpa banyak bertanya lagi. Hari itupun saya memperoleh pahlawan hidup lagi.

Ya Rabb, Inna solati, wanusuki, wamahyaya, wamamati, Lillahirabbil 'alamin. Ya Rasulullah, terimalah salam rindu kami yang seringkali lalai, rindu dari kami yang seharusnya melebihi rindunya sebuah pohon kurma tempatmu bersandar kala di masjidmu.




Tentang Al Quds

“Kami adalah pelayan al Quds, tanah dan batu al Quds. Kami tidak membedakan antara membela masjid al Aqsha al Mubarak dan Ka’bah al Musyarafah. Perlindungan dan pembelaan kami untuk keduanya merupakan perintah ilahi bagi kami, Sepanjang masa kota al Quds merupakan cahaya mata kami, maka perlindungan dan pembelaan kami adalah perintah ilahi bagi kami, sepanjang hayat kami” .

Dari Perdana Menteri, Turki Ahmed Davudoglu, dengan beberapa perubahan redaksi.

Wednesday 5 November 2014

Tentang jodoh (lagi)

Jatuh cintalah saat engkau sudah siap dan sedang mempersiapkan untuk menikah. Karena akan menutup masalah-masalah yang tidak perlu engkau hadapi ketika belum tiba waktunya.

Jatuh cinta saat belum siap menikah, jika masih berstatus pelajar, dan harus menyelesaikan sekolah, bisa jadi engkau akan pusing mencari solusi bagaimana menikah saat masih berstatus pelajar.

Jika engkau sudah siap jatuh cinta, maka Jatuh cintalah engkau pada lawan jenis yang sudah siap dan sedang mempersiapkan untuk menikah. Karena akan menutup masalah-masalah yang tidak perlu engkau temui.

Jatuh cinta pada orang yang belum siap menikah akan menambah panjang daftar sakit hati bersamaan dengan waktu tunggu yang tidak jelas dimana ujungnya.

Umur dan rizki hanyalah pada Allah muaranya.

Dari sini bisa difahami, bahwa jodoh bukanlah perkara yang sudah ditetapkan di Lauhul Mahfudz, tetapi ia adalah mu’amalah biasa sebagaimana mu’amalah yang lain, yang berada di area yang dikuasai manusia dan manusia dihisab atasnya. Sehingga pada proses menuju pernikahan dan jatuh cintanya itu menjadi bagian yang dihisab nantinya

Namun pemahaman bahwa jodoh adalah sesuatu yang berada dalam area yang dikuasai manusia bukan berarti pengingkaran bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) yang bersifat Maha Mengatur dan ( الْحَاكِمُ ) yang Maha Memutuskan. Setiap Mukmin ketika melaksanakan suatu aktivitas dalam area yang dikuasainya kemudian ternyata apa yang terjadi di luar harapannya dan di luar dugaannya, maka ia harus ridlo terhadap hal itu dan mengimani bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur.

Rezeki setiap hamba telah dijamin oleh Allah. Allah pun telah menetapkan kadar dan takaran bagian atau porsi rezeki tiap hamba (Lihat QS. Hud [11]: 6)

Imam Muslim meriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa pada usia kandungan 120 hari, Allah mengutus malaikat untuk menuliskan beberapa ketetapan atas janin itu, termasuk ketetapan rezeki dan ajalnya. Para ulama menjelaskan, yaitu ketetapan sedikit dan banyaknya rezeki. Sedikit dan banyaknya rezeki atau kaya dan miskinnya seorang hamba tidak akan dihisab oleh Allah karena itu semata adalah ketetapan Allah.

Jodoh, pernikahan adalah pilihan, bukan sesuatu yang telah ditetapkan ada pada setiap manusia.
QS An Nisa : 4. 

Tentang lepas dakwah

dari NAI:

Hanya dengan ikhlas maka jiwamu akan menenang, karena disana engkau akan mendapat pujian dari rabb yang maha agung dan di tonton para malaikat!!
Disanalah jiwamu menemui telaganya, ia melepas dahaga dan berbahagia. Ia tenang karena keyakinan bahwa amalnya telah terdokumentasi dengan baik, ia tenang karena passive income untuk pendapatan akhiratnya terus bertumpuk-tumpuk hingga kelangit!

Selama engkau berharap kepada manusia, maka diujung sana akan ada kekecewaan. Ini pelajaran untukmu, saudaraku yang merasa letih dalam dakwah. Ingatlah, bahwa futur itu cerminan rusaknya akidah dan ketidakpahaman tentang hakikat dan tujuan penciptaan..

Kita ini bukan penduduk asli bumi, kita ini mahluk asing di bumi ini. Makanya engkau kecewa, karena engkau beramal untuk manusia, bekerja untuk dunia.

Tuesday 4 November 2014

Tentang Nonkognitif

Tambahkan satu aspek lagi, yaitu aspek spiritual: Istighfar dan mohonkan pada Allah untuk diberi petunjuk dalam segala urusan, tawakal dan ikhlas. Maka mendapatkan akhirat dan duniapun menjadi pengekor dibelakangnya. Tertempatkan dunia sebagai pendorong saja, bukan malah berada didepan sebagai tujuan.

Rhenald Kasali:

Penerima Nobel Ekonomi tahun 2000, James Heckman menemukan variabel-variabel nonkognitif yang justru tak diberikan di sekolah menjadi penentu keberhasilan seseorang untuk memutus mata rantai kemiskinan. Variabel itu adalah keterampilan meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan, sampai kemampuan mengelola daya tahan (persistensi), menghadapi tekanan, menunda kenikmatan, ketekunan menghadapi kejenuhan, dan kecenderungan untuk menjalankan rencana.

Nah keterampilan-keterampilan seperti itu, menurut Heckman, sering kali absen dalam sekolah kognitif. Tanpa itu, anak-anak yang dibesarkan dari keluarga menengah ke atas pun akan jatuh pada lembah kemiskinan.


Ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi: faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausaha kelas dunia, dan praktisi-praktisi andal. Kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari "pintu" adalah fondasi penting bagi pembaharuan, dan kehidupan yang  produktif.  

The secret of getting ahead is getting started.—MARK TWAIN 
Columbus berfilsafat, "Kalau Anda tak pernah kesasar, maka kita tak akan pernah menemukan jalan baru."  

Tentang persistent

Mari kita simak tulisan gurunda :

Mooryati Soedibyo, Dian Sastro, dan Metakognisi Susi Pudjiastuti


Rhenald Kasali                         (@Rhenald_Kasali)

KOMPAS.com — Saya kebetulan mentor bagi dua orang ini: Dian Sastro dan Mooryati Soedibyo. Akan tetapi, pada Susi Pudjiastuti yang kini menjadi menteri, saya justru belajar.

Ketiganya perempuan hebat, tetapi selalu diuji oleh sebagian kecil orang yang mengaku pandai. Entah ini stereotyping, atau soal buruknya metakognisi bangsa. Saya kurang tahu persis.

Mooryati Soedibyo

Sewaktu diterima di program doktoral UI yang pernah saya pimpin, usianya saat itu sudah 75 tahun. Namun, berbeda dengan mahasiswa lain yang datang pakai jins, dia selalu berkebaya. Anda tentu tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkebaya, bukan?


KOMPAS/AGUS SUSANTO Mooryati Soedibyo, pengusaha jamu dan kosmetika tradisional

Akan tetapi, ia memiliki hal yang tak dimiliki orang lain: self discipline. Sampai hari ini, dia adalah satu-satunya mahasiswa saya yang tak pernah absen barang sehari pun. Padahal, saat itu ia salah satu pimpinan MPR.

Memang ia tampak sedikit kewalahan "bersaing" dengan rekan kuliahnya yang jauh lebih muda. Akan tetapi, rekan-rekan kuliahnya mengakui,  kemajuannya cepat. Dari bahasa jamu ke bahasa strategic management dan science yang banyak aturannya.

Teman-teman belajarnya bersaksi: "Pukul 08.00 malam, kami yang memimpin diskusi. Tetapi pukul 24.00, yang muda mulai ngantuk, Ibu Moor yang memimpin. Dia selalu mengingatkan tugas harus selesai, dan tak boleh asal jadi."

Masalahnya, ia pemilik perusahaan besar, dan usianya sudah lanjut. Ada stereotyping dalam kepala sebagian orang. Sosok seperti ini jarang ada yang mau kuliah sungguhan untuk meraih ilmu. Nyatanya, kalangan berduit lebih senang meraih gelar doktor HC (honoris causa) yang jalurnya cukup ringan.

Akan tetapi, Mooryati tak memilih jalur itu. Ia ingin melatih kesehatan otaknya, mengambil risiko dan lulus 4 tahun kemudian. Hasil penelitiannya menarik perhatian Richard D’aveni (Tuck School-USA), satu dari 50 guru strategi teratas dunia. Belakangan, ia juga sering diminta memaparkan kajian risetnya di Amerika Serikat, Belanda, dan Jerman.

Meski diuji di bawah guru besar terkemuka Prof Dorodjatun Kuntjoro Jakti, kadang saya masih mendengar ucapan-ucapan miring dari orang-orang yang biasa menggunakan kacamata buram dan lidahnya pahit. Ada saja orang yang mengatakan ia "diluluskan" dengan bantuan, "sekolahnya hanya dua tahun", dan seterusnya. Anehnya, kabar itu justru beredar di kalangan perempuan yang tak mau tahu keteladanan yang ia tunjukkan. Kadang ada juga yang merasa lebih tahu dari apa yang sebenarnya terjadi.

Akan tetapi, ada satu hal yang sulit mereka sangkal. Perempuan yang meraih doktor pada usia 79 tahun ini berhasil mewujudkan usahanya menjadi besar tanpa fasilitas. Perusahaannya juga go public. Padahal, yang menjadi dosennya saja belum tentu bisa melakukan hal itu, bahkan membuat publikasi ilmiah internasional saja tidak. Namun, Bu Moor juga berhasil mengangkat reputasi jamu di pentas dunia.

Dian Sastro

Dia juga mahasiswi saya yang keren. Sewaktu diterima di program S-2 UI, banyak juga yang bertanya: apa benar artis mau bersusah payah belajar lagi di UI?

Anak-anak saya di UI tahu persis bahwa saya memang cenderung bersahabat, tetapi mereka juga tahu sikap saya: "no bargain on process and quality".

KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI Model dan artis peran Dian Sastrowardoyo

Dian, sudah artis, dan sedang hamil pula saat mulai kuliah. Urusannya banyak: keluarga, film, dan seabrek tugas. Namun lagi-lagi, satu hal ini jarang dimiliki yang lain: self discipline. Ia tak pernah abai menjalankan tugas.

Sebulan yang lalu, setelah lulus dengan cum laude dari MM UI, ia berbagi pengalaman hidupnya di program S-1 pada kelas yang saya asuh.

"Saat ayah saya meninggal dunia, ibu saya berujar: kamu bukan anak orang kaya. Ibu tak bisa menyekolahkan kalau kamu tidak outstanding," ujarnya.

Ia pun melakukan riset terhadap putri-putri terkenal. Di situ ia melihat nama-nama besar yang tak lahir dari kemudahan. "Saya tidak cantik, dan tak punya apa-apa," ujarnya.

Dengan uang sumbangan dari para pelayat ayahnya, ia belajar di sebuah sekolah kepribadian. Setiap pagi, ia juga melatih disiplin, jogging berkilo-kilometer dari Jatinegara hingga ke Cawang, ikut seni bela diri. "Mungkin kalian tak percaya karena tak pernah menjalaninya," ujarnya.

Itulah mental kejuangan, yang kini disebut ekonom James Heckman sebagai kemampuan nonkognisi. Dian lulus cum laude dari S-2 UI, dari ilmu keuangan pula, yang sarat matematikanya. Padahal, bidang studi S-1 Dian amat berjauhan: filsafat.

Metakognisi Susi

Sekarang kita bahas menteri kelautan dan perikanan yang ramai diolok-olok karena "sekolahnya". Beruntung, banyak juga yang membelanya.

Khusus terhadap Susi, saya bukanlah mentornya. Ia terlalu hebat. Ia justru sering saya undang memberi kuliah. Dia adalah "self driver" sejati, yang bukan putus sekolah, melainkan berhenti secara sadar. Sampai di sini, saya ingin mengajak Anda merenung, adakah di antara kita yang punya kesadaran dan keberanian sekuat itu?

SABRINA ASRIL/KOMPAS.com Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti

Akan tetapi, berbeda dengan kebanyakan orangtua yang membiarkan anaknya menjadi "passenger", ayah Susi justru marah besar. Pada usia muda, di pesisir selatan yang terik, Susi  memaksa hidup mandiri. Ditemani sopir, ia menyewa truk dari Pangandaran, membawa ikan dan udang, dilelang di Jakarta. Hal itu dijalaninya selama bertahun-tahun, seorang diri.

Saat saya mengirim mahasiswa pergi "melihat pasar" ke luar negeri yang terdiri dari tiga orang untuk satu negara, Susi membujuk saya agar cukup satu orang satu negara. Saya menurutinya (kisah mereka bisa dibaca dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor).

Dari usaha perikanannya itu, ia jadi mengerti penderitaan yang dialami nelayan. Ia juga belajar seluk-beluk logistik ikan, menjadi pengekspor, sampai terbentuk keinginan memiliki pesawat agar ikan tangkapan nelayan bisa diekspor dalam bentuk hidup, yang nilainya lebih tinggi. Dari ikan, jadilah bisnis carter pesawat, yang di bawahnya ada tempat penyimpanan untuk membawa ikan segar.

Dari Susi, kita bisa belajar bahwa kehidupan tak bisa hanya dibangun dari hal-hal kognitif semata yang hanya bisa didapat dari bangku sekolah. Kita memang membutuhkan matematika dan fisika untuk memecahkan rahasia alam. Kita juga butuh ilmu-ilmu baru yang basisnya adalah kognisi. Akan tetapi, tanpa kemampuan nonkognisi, semua sia-sia.

Ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi: faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausaha kelas dunia, dan praktisi-praktisi andal. Kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari "pintu" adalah fondasi penting bagi pembaharuan, dan kehidupan yang  produktif.

Manusia itu belajar untuk membuat diri dan bangsanya tangguh, bijak mengatasi masalah, mampu mengambil keputusan, bisa membuat kehidupan lebih produktif dan penuh kedamaian. Kalau cuma bisa membuat keonaran dan adu pandai saja, kita belum tuntas mengurai persepsi, baru sekadar mampu mendengar, tetapi belum bisa menguji kebenaran dengan bijak dan mengembangkannya ke dalam tindakan yang produktif.

Ketiga orang itu mungkin tak sehebat Anda yang senang melihat kecerdasan orang dari pendekatan kognitif yang bermuara pada angka, teori, ijazah, dan stereotyping. Akan tetapi, saya harus mengatakan, studi-studi terbaru menemukan, ketidakmampuan meredam rasa tidak suka atau kecemburuan pada orang lain, kegemaran menyebarkan fitnah dan rasa benar sendiri, hanya akan menghasilkan kesombongan diri.

Anak-anak kita pada akhirnya belajar dari kita, dan apa yang kita ucapkan dalam kesaharian kita juga akan membentuk mereka, dan masa depan mereka.


Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model dari social business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Saat ini, dia juga maju sebagai kandidat Rektor Universitas Indonesia. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers.

Monday 3 November 2014

Tentang anak

Episode 1:
Si bungsu yang berumur lima tahun bertanya. "Abi bilang kalau ketemu anjing, supaya anjing itu tidak berani ke kita, kita jongkok dan pura-pura ambil batu?" Jawab saya "Iya".

Dia kemudian kembali bertanya, " Bagaimana jika anjingnya buta?"
"Dik, jarang ada anjing buta yang tetap dipelihara oleh majikannya", kata saya.
"Tapikan tetap ada kemuungkina bahwa akan ada anjing yang buta?" tandasnya.
Hehe..sayapun tertawa dan cuma menjawab, "Kalau gitu tendang saja anjingnya, toh dia tidak dapat melihat dimana kita", walau ini jawaban sederhana yang sekenanya, karena indera penciuman anjing yang begitu kuat, memungkinkan anjing untuk mengetahui keberadaan manusia walau dia buta. Tapi jawaban sederhana itu sudah cukup intuk menguatkannya agar tidak pernah takut dengan makhluk yang Allah ciptakan. Karena yang dia harus takuti hanya Allah semata sang pencipta segala makhluk.

Episode 2:

Malam itu isteri meminta saya untuk mengundurkan jadwal pergi ke Bandung menjadi hari Senin. Karena banyak agenda di hari Senin maka saya bersikukuh untuk pulang di jadwal semula, yaitu hari Ahad. Tiba-tiba puteri kami menyela pembicaraan, dan memberi dukungan pada usul uminya. Dia berkata, "Bi itu kata isteri lho, kalau isteri meminta harus diikuti lho!"

Saya dan isteripun hanya bisa tertawa, ternyata puteri kami sudah paham relationship suami isteri. Kamipun harus lebih hati-hati memberi qudwah kepada anak-anak kami.

Tentang perhatian

Malam itu saya, dan si sulung berada di depan TV. Putera kami sedang sibuk dengan proyeknya membuat lampu sorot untuk sepedanya. Dia belajar mengupas kabel, yang memang menurut saya kualitas shieldnya bagus, sehingga butuh banyak effort untuk bisa mengelupasnya. Berkali-kali gagal karena bukan hanya selubungnya yang terkelupas, namun sampai serat kabel didalamnyapun ikut terpotong.

Saya sendiri sedang menyimak acara Mario Teguh. Ada sebuah episode dimana seorang ibu muda diambang perceraiannya yang menurutnya karena dia dan suami punya ego yang tidak bisa diketemukan. Menariknya dia sempat mengutarakan perbedaan kehidupan rumah tangga antara orang tuanya dengan orang tua dari pihak suami. Menurutnya orang tuanya adalah cermin kehidupan yang harmonis, hampir tidak ada pertengkaran di dalamnya. Sedangkan kehidupan orang tua suaminya banyak hari-harinya yang dihiasi oleh pertengkaran. Namun demikian, ibu mertuanya setiap harinya masih memasak sendiri untuk keperluan makan keluarganya. Berbeda dengan kehidupannya yang memang tidak sempat memasak untuk suami karena alasan kerja. Sumber pertengkaran mereka adalah ajakan suaminya untuk tinggal bersama orang tuanya dibanding di rumah yang telah si istri beli jauh sebelum mereka menikah. Setelah ditanya apa motivasi menikahnya, ternyata ibu muda itu mengatakan bahwa dia sudah didesak ortunya untuk segera menikah agar ada yang menjaga di Jakarta, mengingat usianya yang sudah menginjak 27 th. Akirnya ibu muda itu mengaku bahwa dirinya yang mendesak si suami utk segera menikahinya. Menurut sang motivator, bisa jadi Tuhan mengabulkan permohonan hambanya yang berdasarkan nafsu dalam hal ini untuk menikah, dibanding meniatkan menikah dengan ikhlas demi beribadah kepadaNya. Dan ibu muda itu punya cara pandang sendiri bahwa hidup menjanda tidak apalah, karena Tuhan selalu bersama hambanya...sedemikian mudah yaa, alasan untuk mengakhiri rumah tangga, karena ego masing-masing yang tidak bisa bertunduk pada alasan-alasan syar'i. Bahkan sampai tersesatpun, jika tidak punya peta jalan hidup (Al Quran dan As Sunnah) akan merasa tidak tersesat.

Yang selanjutya, diluar perkiraan saya, si sulung bertanya, "Bi, apa beda pacaran dengan Ta'aruf? Apakah dulu abi juga taaruf?" Ternyata si sulung ikut mendengarkan dialog-dialog yang di TV. Karena sering disebut-sebut kata pacaran. Akhirnya dengan menimbangdan mencari-cari kata-kata yang pas buat anak usia 11 tahun, saya jawab pertanyaanya. Beberapa saat kemudian istri juga ikut nimbrung, dan saya diskusikan ke istri pertanyaan anak kami tadi. Kamipun tertawaringan mengingat bagaimana pertemuan kami dahulu.

So...Al Qudwah Qobla Dakwah memang seharusnya dipegang oleh dai dimanapun dia berada. Tidak hanya di depan publik, namun terutama dalam keluarga kecilnya. Seperti pada Hasan Al Basri kita bisa bercermin bagaimanametode dakwahnya, yang demikian kuat bisa menembus relung-relung hati terdalam dari obyek dakwahnya. Sampai-sampai istri amirul mukminin mengatakan bahwa dialah (Hasan Al Basri)  yang sebenarnya seorang raja, bukan suaminya. Karena setiap perkataan Hasan Al Basri pasti akan diikuti dan ditaati oleh seluruh kaum muslim.

Saturday 1 November 2014

Tentang mendidik anak

Salah satu yang saya pelajari dari budaya Eropa Amerika dan Jepang adalah tingginya penghargaan mereka terhadap kebaikan. Terlepas jika mereka memandang kaum Muslim dengan "kacamata kuda", sehingga rendah sekali penghargaannya.Tetapi jika sesama bangsanya akan lain ceritanya. 

Ada satu acara mereka, namanya kalau di Amerika adalah America's got talent, kalau British namanya Britain's got talent. Mereka katakan kepada anak-anak bangsanya, "Carilah bakatmu! Asahlah sebaik-baiknya! Dan.. tunjukkan!" Untuk semua orang akan dihargai sama, tidak ada pembedaan umur dan strata sosial, apalagi tampang. Siapapun boleh tampil asal berbakat. Efeknya tentu akan luar biasa, telah ratusan ribu yang mendaftar. Setiap orang akan termotivasi, dan diakui atau tidak kekurangan dari setiap individu pasti ada, namun kelebihannyalah yang akan disorot.

Bangsa kita sudah meniru acara-acara tersebut, namun tetap saja terasakan ada yang berbeda dengan apa yang mereka adakan. Kreativitas dan ide, jelas sangat jauh berbeda. Terus terang saya sangat kagum dan tidak terpikir. TIDAK HANYA PESERTANYA, seluruh pendukung acara sepertinya tahu bagaimana membangkitkan emosi penontonnya di seluruh negeri/dunia, mulai dari kameramennya, jurinya, penonton di dalam studio yang masing -masing saling menguatkan skenario di acara tersebut. Dan jika kita bandingkan dengan acara serupa di negara kita, maka kita ibarat melihat timnas sepak bola kita yang diadu dengan timnas Spanyol, terlihat sekali timpangnya bagaimana team work dan skill individunya dari kedua kesebelasan.
Satu yang mungkin menjadi alasannya adalah bahwa mereka sudah menerima penanaman nilai dari profesinya beserta penghargaannya sejak dini. Tidak ada suap menyuap, atau  faktor ketidakjujuran. Mereka percaya yang baik pasti dihargai. Apakah nilai-nilai tersebut sudah ada di Indonesia? Baru saja ada pertandingan sepakbola divisi utama, terjadi 5 gol, dengan kesudahan 3:2. Sepintas tidak ada yang janggal, namun kalau melihat proses terjadinya gol, baru kita paham adanya orang-orang tidak jujur dibelakang pertandingan tersebut. Ya..5 gol yang terjadi semuanya dari proses bunuh diri, alias memasukkan gol ke gawang sendiri. Yang tuan rumah membobol gawang sendiri 2 kali, sedangkan sang tamu membobol gawangnya sendiri sebanyak 3 kali.

Di balik kesedihan akan nilai-nilai kejujuran yang ada di bangsa kita, saya tetap yakin masih ada banyak orang yang terdidik sedari kecil maupun menempa diri sendiri dengan atau tanpa bimbingan orang tuanya yang Allah tetap jaga eksistensinya di bangsa kita. Walau kebanyaka dari mereka tidak terekspos, namun cukuplah kita di perlihatkan Allah sedikit dari beberapa sosok tersebut. Contoh menarik dapat dilihat di (https://www.facebook.com/141694892568287/photos/a.144983902239386.35784.141694892568287/482760505128389/?type=1).

Yang jadi bahan renungan saya, sebuah pertanyaan sederhana, yang mungkin belum pernah saya tanyakan kepada anak-anak saya dalam bahasa yang gamblang dan jelas bagi mereka. Pertanyaan itu: "Apa yang engkau inginkan untuk menjadi amalan terbaikmu?" dan sebuah penguat yang akan kami sampaikan ke anak-anak. "Jika itu adalah untuk Allah dan kebaikan, dan sesuai syariah, Insya Allah Abah dan umi akan sekuat tenaga mendukungmu". 

Tentu saja kita tidak hanya berpikir ibadah mahdhoh saja. Dan tentu saja hal itu untuk masa depan mereka, masa depan abadi yang tidak ada masa depan sesudahnya, yaitu akhirat. Jika itu untuk bekal akhirat, maka Allah pasti cukupkan bekal dalam perjalanan didunia ini untuk menuju akhirat.

Sehingga Insya Allah nanti, kami orang tuamu, dan tentu saja engkau sendiri dapat berdiri dihadapan Allah dengan sepenuh keyakinan, bersaksi tentang apa yang telah diperbuat untuk manusia Indonesia dan juga semesta.