Sunday 6 May 2012

Salah Elo Sih!

“Bro...aku barusan kena musibah nih...dompet gue dicopet waktu ngantri keluar stasiun”....Yg disebut bro-pun (kita sebut aja namanya si-Bro) nimpali  dg spontan: “Lo sih kagak hati-hati, makanya sedeqah...itu tandanya elo kurang sedeqah..jadi deh diminta paksa sama Tuhan”. Dalam hati si pentutur pertama yg kita sebut aja si-Lo berkata “Mending tadi gue kagak crita ke ente”. Selang beberapa hari kemudian secara tidak disengaja keduanya bertemu di kantor polisi dengan urusan yg berbeda, si -Lo ngambil dompet yg hanya tinggal surat2 penting didalamnya, sedangkan si-Bro sedang melaporkan kehilangan motornya yg ditaruh depan kost2annya.

Sahabat..Adanya kesulitan, kesusahan, musibah, kecelakaan, kehilangan, sakit, yg terjadi pada seseorang bukanlah ukuran ketidakbarokahan kehidupan seseorang.

demikian juga...Adanya kesehatan, keberhasilan, kesuksesan, kelancaran, diperolehnya sesuatu ataupun rezeki, yg terjadi pd seseorg juga belum tentu bisa dijadikan suatu ukuran kebarokahan kehidupannya.

Rezeki barokah indikatornya sedikitnya adalah cukup, lebihnya adalah manfaat...kalau dilengkapin maka ukuran kebarokahan:  ada tidaknya peningkatan keimanan/peningkatan amal/peningkatan nilai  serta kedekatannya pd Allah setelah setiap kejadian yg terjadi padanya, dari waktu ke waktu. Itulah makna sejati kebarokahan hidup.

Kalau dihubungkan dg kejadian sehari-hari yang sering kita jumpai (lihat awal tulisan): ...Jika ada seorang sahabat mendapatkan musibah, kehilangan barang miliknya, ataupun menderita sakit kemudian menceritakannya kepada kita, biasanya segera muncul bisikan buruk dari dalam hati yg bilang “Kurang sedeqah sih...kurang amal sih...banyak dosa sih...dan banyak2 juga lainnya yg negatif”  (yg kita anggap kesemuanya itu menjadi sebab hidupnya yg tidak barokah, sehingga kemalangan-kemalangan itupun pantas mendatangi)...lebih buruk lagi kalau kata-kata tsb sampai terlepas keluar dari mulut bawel kita...itu jelas akan menyakiti sahabat kita. Jika kita sudah menyakitinya jelas urusannya bisa panjang,  selain nambah dosa diri, menggugurkan dosanya,  dan satu lagi yg perlu kita camkan (sebelum melakukan tindakan bodoh itu)... kitapun tidak pernah tahu siapa sebenarnya sahabat kita itu, seberapa banyak amalannya, seberapa dekat dia dg tuhannya... karena bisa jadi dia adalah salah seorang kekasih Tuhan, dan jika dia adalah kekasih Tuhan, yg berabe nantinya yg punya mulut bawel itu. Bisa jadi, Allah-lah yg akan memberikan balasan bagi siapapun yg menyakiti kekasihnya, tanpa dimintapun...sekali lagi tanpa dimintapun, oleh simanusia yg terdzolimi itu.

Maka yg lebih baik adalah segera berempati dengan senantiasa berbaik sangka padanya, demikian yg Rasulullah SAW ajarkan.

Just renungan akhir pekan, 5 Mei 2012

Persahabatan Bagai Kepompong

Teman terbaik adalah buah yang Jatuh dari pohon terbaik,
yang tumbuh dari benih terbaik yang disiram dengan kasih sayang terbaik,
dipupuk dengan doa-doa terbaik pula,
untuk kemudian disempurnakan penjagaannya oleh tangan terbaik dari langit pemberi kehidupan...
         .........................Maka dimuliakanlah mereka di taman surga.........................

Suatu pagi, sambil menunggu teman utk berangkat ke stasiun,  ada status FB yang menarik utk direnungkan: Meninggalkan sahabat berarti meninggalkan malaikat penjagamu...demikian salah satu status FB yg saya baca pada suatu pagi. Seperti ada benang merah dengan kejadian malam sebelumnya saat saya diundang oleh dua ‘teman’ makan bersama dalam rangka perpisahan di sebuah restoran ditengah kota, restoran yang dengan setia menunggui kami untuk overtime, karena sebenarnya saya dan mereka belum berkehendak atau siap untuk meninggalkan atau ditinggalkan... Sebelum lebih jauh saya berfikir tentang arti teman atau sahabat, saya asumsikan saja bahwa kehilangan atau meninggalkan keduanya mempunyai makna sejenis, sama-sama ada yang pergi.

Pada awal kesadaran saya akan arti teman, saya sering mengunakan rumus 3 laci di meja kantor saya. Tujuan awalnya sih agar diri dan pikiran saya tetap sehat, sesehat tanah gembur penuh humus walau keadaan disekeliling saya tanahnya kering kerontang, pecah-pecah dan tidak menyuburkan.

Saya punya sebuah meja kerja dengan tiga laci, Saya sering meletakkan barang sesuai klasifikasinya, laci paling atas laci dimana sering ambil dan taruh barang paling tidak dua kali dalam setiap harinya, the most important and needed begitulah sebutan utk barang2 di laci ini. Dilaci ini benda2 itu akan tersimpan, “mungkin” sampai akhir pengabdian saya alias pensiun, baru akan  saya bawa pulang bukannya ditinggal..sekali lagi dibawa pulang, bukan dibuang lho...karena nilai kenangannya yg tinggi, nilai kepantasannya yang tinggi. Laci pertama inilah tempat bagi teman yang sebenarnya, dia ada disaat dibutuhkan, tempat curhat, tempat berbagi kebahagiaan dan juga air mata...jelas laci teratas adalah tempat saya paling sering membuka dan menutupnya untuk mengambil dan memasukkan hal-hal yang sering saya pakai, yang jika kehilangan bisa bikin tdk mood utk ngapa-ngapain.

Bergerak kebawah, laci kedua tempat menaruh barang yang kemungkinan baru akan saya cari minimal 1 minggu sekali..itupun kalo masih ingat barang itu di laci kedua. Jelas yg ini semakin jarang saya buka kalo pas saya sdg sibuk2nya ngurusi kerjaan dg laci pertama. Laci kedua, laci teman-teman saya yang sekedar kalo bertemu untuk berbasa-basi, say hello, menanyakan kabar, ditambah sedikit empati kalau diperlukan..yah karena itulah teman tipe kedua ini juga tidak sampai turun kehati untuk menciptakan suasana exited, apalagi sampai berasa kehilangan bila dia meninggalkan saya.

Dan yang ketiga, laci tempat meletakkan barang-barang yang sangat-sangat, dan sangat jarang saya butuhkan, dan hampir-hampir tinggal menunggu waktu  untuk saya masukkan ke bak sampah di samping meja. Untuk yang satu ini lebih banyak saya hindari daripada saya temui, jikapun sdh ketemu sepertinya ingin segera saya tinggalkan, sebelum ketombe di kepala rontok sendiri tanpa digaruk kalau kelamaan duduk bersama dengan teman yang seperti ini. Untuk teman jenis ketiga ini, si hati sudah sering teriak untuk tidak menghindarinya, untuk tidak sembunyi darinya...tetapi kenyataannya pikiran buruk di otak lebih sering menangnya daripada si hati, terbukti saya lebih senang menggerakkan kaki untuk melangkah menjauhinya daripada menemuinya.

Btw, bagi saya pada saat itu, posisi teman di ketiga laci tsb masih bisa berubah, bukan harga mati.. paling tidak sekali dalam satu semester saya luangkan waktu untuk melihat ulang semua laci2 tsb..tentu dengan pikiran dan hati jernih, jauh dari unsur tergesa-gesa. Sampai kemudian ada alasan bagi saya, untuk berubah pikiran, mengambil barang dan menaikkannya ke laci yang lebih atas, atau terkadang malah menurunkan barang yang lain ke laci dibawahnya..mirip seperti klasemen sepakbola, ada yg terdegradasi, ada pula yang promosi ke jenjang kompetisi yang lebih prestisius. Akhirnya strategi pertemanan saya diatas telah menjadi ritme dalam menjalin hubungan pertemanan selama bertaun-tahun

Sampai kemudian di kost2an, disaat badan terasa panas dingin minta kerokan, ada temen yang ngomong gini sambil tangannya terus menggerus punggung saya dengan dengan bersemangat (khas persaudaraan sesama perantau) ... “Klo kamu meninggalkannya sebenarnya malah menutup kemungkinan kamu ditolongnya”. “Lho kok bisa?...bukannya dia yg mestinya ditolong, kok malah saya yg harusnya ditolong”, sahut saya tidak puas.

Dengan menambah tekanan pada koin yang menggores punggung, dia jawab.. “Ya.. dengan kamu tetap membersamainya kamu kan jadi banyak amalnya...kamu tertolong karena kamu akan dijadikan lebih baik..bahkan lebih mulia dari sebelum kamu ketemu dia, karena kamu dibutuhin maka kamu dimintai tolong seperti itu...”

Dan dengan hati yg dongkol sy bilang..  “Justru setelah setelah sy tinggal mungkin dia akan menjadi orang yg lebih hebat tanpa kehadiran saya...lebih mandiri kali...(walau dalam hati sy juga tdk yakin)", dan yg bikin saya juga bertambah mengkeret dan meringis karena tambah perih saja punggung, saat dia bilang ... “kalau mutus silahturahim maka gak akan dilihat, dilirik atau dianggap oleh Allah saat nanti setelah dibangkitkan...” waduh semakin panas dingin batin ini, kalau sudah mendengar yang seperti itu, walau hasil kerokannya sdh bisa sedikit mengusir panas dinginnya jasad.

Jadi jika saya ngotot untuk pakai prinsip 3 laci diatas, maka saya akan terus menggelontorkan kebaikan dan juga dapat kembalian berupa gelontoran kebaikan hanya dari satu sumber, yaitu laci teratas...jelas ada kecenderungan kesitu, karena saya sdh berada pada zona nyaman...ngapain juga saya susah-susah dengan kedua laci yang lainnya...Padahal kalau dihitung dangan rumus matematika sederhana...3 (kebaikan) x 1 (laci) hasil turunan kebaikannya akan kurang jika dibandingkan 1 (kebaikan) x 3 (laci), sekali lagi turunan kebaikan, apalagi kalau setiap laci punya anakan laci....tambah pusing lagi utk menghitungnya saking banyaknya..hehehe....jadi hasil hitungan saya adalah akan lebih banyak lagi tabungan amal saya kalau saya juga bisa dapat kebaikan+kesusahannya dari sekaligus 3 laci tersebut

Sehingga seiring berjalannya waktu dan berkurangnya umur, ada yang datang dan pergi dari kehidupan saya, ternyata pandangan saya tentang arti pertemanan di awal tadi mengalami revisi juga untuk muncul 2nd edisinya.
Begini deskripsinya...Saya akan terima semua teman yang datang pada saya dengan tangan dan hati yang  terbuka. Walaupun tetap ada tiga laci, saya akan lihat ketiganya dengan satu kacamata yang sama-sama beningnya. Bahwa saya dan mereka sama-sama bisa berhubungan secara simbiosis mutualisme, apapun posisi awalnya dilaci2 tsb. Hehehe...Saya berfikir seperti itu mungkin juga karena saat itu saya sedang keranjingan buku2 tentang berpikir positif.

Pada saat pertama kali berpersepsi, saat membuka diri itulah, saya mulai tersadar hampir-hampir secara keseluruhan akan menentukan bagaimana kelanjutan hubungan pertemanan itu akan berujung. Apakah saya memakai kacamata yang bening nan transparan untuk melihat apa adanya pada alam sadar maupun bawah sadar penuh pikiran positif, atau sebaliknya memakai kacamata yang hitam nan gelap yang menyembunyikan diri saya maupun dia dari persepsi yang jelas dari masing-masingnya.

Walaupun kenyataannya ada juga teman yang membuat kulit kepala ini semakin terasa kering dan gatal-gatal, juga membuat tubuh ini berguncang-guncang ibarat naik angkutan umum di kota yg sy tinggali sekarang, yang mana semakin lama, semakin membuat kepala cenut-cenut dan bisa-bisa dilanjut muntah-muntah.....Tetapi berdasarkan pengalaman selama ini ternyata dan Alhamdulillah kalau keadaan seperti itu tidak permanen, terkadang ada juga teman yang datang untuk menyeimbangkan kelembaban kulit kepala dan jasmani saya lagi sehingga terasa sejuk dan menyegarkan, ibarat habis creambath kemudian naik Mercedes S-class yang nyaris tanpa goncangan saat melewati jalanan berlubang-lubang plus polisi tidur...

Kalaupun kedua keadaan itu silih berganti datang...satu hal yang bisa saya ambil pelajaran...mirip-mirip prinsip ketidakseimbangan termodinamika yang pernah saya baca,yang mana prinsip itu membuat bumi kita memungkinkan ditempati makhluk hidup sampai sekarang. Maka, sy pikir2... bisa jadi kalau saya tidak mengalami itu, seperti halnya planet Venus ataupun Mars, yang semuanya sudah dalam keadaan setimbang, maka yang terasa hanya panas saja, atau dingin saja..sepanas Venus, sedingin Mars, kalaupun ada yang senang dengan keadaan seperti itu ya monggo saja, tapi menurut saya keduanya sama...monoton as death planets, alias garing..ring, ini pendapat saya lho...kalaupun anda memilih sebaliknya itu hak anda. Akhirnya saya beranggapan bahwa laci nomer dua dan tiga itu bisa berkedudukan seperti laci nomer satu tinggal bagaimana kita mau membukanya atau tidak setiap saat untuk memperbaharuinya...ini kata kerja lho, kitanya yg aktif. Aktif ini bisa aktif ke dalam diri maupun keluar dari diri kita. Karena hati ini lama-lama sakit juga kalau disakiti dengan pikiran-pikiran saya...ataupun anggapan2 saya yang negatif yang belum tentu shahih selama hampir seumur hidup...mana tahan!

Untuk yang pertama, berhubungan dg masalah pertemanan juga, ada kejadian yang sering saya ataupun anda mungkin alami..Begini...Suatu ketika jika kita sdg jalan-jalan, ada temen yg kita kenal tapi justru berlagak tidak melihat kita, kata hati: temen yang satu ini ngapain pake jalan memutar dan memalingkan muka..kalo mau papasan ya papasan aja. Yang jelas jangan terus terkaget-kaget. Alih-alih daripada kita kaget kemudian menyebarkan cerita berlebih ttg begitu cueknya atau jahatnya temen yang satu ini, seyogianya yg kemudian jadi bahan perenungan kita adalah, di laci manakah dia meletakkan saya jika perlakuannya terhadap saya seperti itu. Mungkin saya yang harusnya berkaca, mematutkan diri, memantaskan diri, menggemburkan diri untuk menjadi yang dapat diterima bukan yang ditinggalkan..tentunya ya dengan membenahi diri, kata orang “super” itu: jadikan diri kita pantas untuk diperlakukan dengan sepantasnya. Jadi saya kembali berpikir, kalau teman itu ibarat bayangan dikaca, apabila ada yang salah dengan hubungan pertemanan, bukan bayangannya yang dipersalahkan, diobok-obok, bahkan disuruh berubah dahulu. Tetapi diri saya dulu yang harusnya saya lihat dengan seksama untuk kemudian diperbaiki dahulu..bukankah teman adalah cerminan kita?

Jadi setelah mengemburkan diri agar menumbuhkan tanaman sehat dan kuat, yang nantinya menghasilkan buah terbaik pula, maka step kedua adalah bergerak keluar menggemburkan juga tanah disekitar saya. Karena mau tidak mau tanah kering kerontang itu akan merembet ke saya, ke tanah saya apabila saya tidak mau mengajak tanah yang lain untuk sama-sama gembur penuh humus, ya kalo mau selamat ya ngajak juga yang selain agar selamat, karena bisa jadi suatu saat nanti justru kita malah dibantu untuk menjadi gembur saat kita sudah mulai kering dan retak. Ya... yg berarti ada kerja aktif yang keluar dari` diri kita...dengan uluran tangan yang bisa mengangkatnya naik kelas. Sepertinya tidak perlu deskripsi lagi ttg hal ini...anda semua juga sudah lebih tahu dari banyaknya contoh orang-orang hebat disekitar kita, maupun yg telah mendahului kita

Menurut  saya, salah satu hal dari orang-orang hebat itu, yang harus saya camkan terus menerus utk diri sendiri (karena kadang saya tidak “ngeh”) adalah, kemampuan menerima apapun resiko, hasil atau balasan yang mereka terima dari teman, lingkungan, orang kebanyakan, atau bahkan dari Tuhan yang menurut orang kebanyakan dianggap sebagai suatu “kemalangan”. Ya, bahkan merekapun belum tentu sampai merasakan buah dari benih yang mereka tanam, benih yang tumbuh menjadi pohon...yang dalam perjalanannya pohon itu mungkin sempat sakit, rusak, atau bahkan patah, namun mereka tetap menanam dan menggemburkan, ya mereka yakin bahwa balasan yang terbaiklah yang akan datang pada suatu saat nanti. Karena buah dari pohon mereka akan menghadirkan rasa yang lezat bagi perut-perut yang kosong, bagi kerongkongan yang dahaga, bagi tangan-tangan terjulur..Kualitas itulah yang membuat mereka pantas disebut orang hebat. Yang membedakan saya dg mereka.

Keadaan disekeliling kita terkadang berkata lain, yang sering terjadi dan saya temui adalah saat teman kita atau orang yang kita bantu memberi balasan yang menyakitkan...sehingga misal keluarlah kata-kata seperti ini,  “Kalau 10 tahun yang lalu dia tidak saya bantu, dia tidak mungkin sesukses sekarang, dasar tak tahu diuntung sdh besar malah lupa siapa yang dulu bantuin saat sama-sama susah...”. Keterjagaan mereka akan kualitas utk tetap “murni” dengan tidak mengungkit-ungkit kebaikan yang telah ditanam,  adalah salah satu bumbu dan pupuk yang membuat buah mereka terasa lezat bagi siapapun. Walau mungkin sudah sewajarnya kita sakit hati bila orang yang telah kita gelontor kebaikan itu membalas dengan sebaliknya...Jadi ingat kata guru bijaksana di suatu senja syahdu menjelang maghrib, saat saya masih kuliah dulu, katanya, “Ikhlas itu adalah pekerjaan seumur hidup, pekerjaan terus menerus dari saat kita mulai berniat, saat kita melakukan, dan saat sesudah kita melakukannya sampai kita mati”. Itulah hal yang paling berat yang hanya pantas dimiliki oleh org yang disebut hebat, bukan yang mengaku hebat.

Jadi ikhlaslah untuk dimanfaatkan bagi kebaikan orang lain, tetangga kita, orang banyak, bahkan lingkungan kita, karena dengan itu kita dimuliakan dan dikenang karena disebut sebagai orang yang bermanfaat.

                          Teman terbaik terlahir dari rahim kebaikan
                          dari bukan siapa-siapa menjadi kenal,
                          dari kenal menjadi teman,
                          dari teman menjadi sahabat,
                          dari sahabat menjadi saudara,
                          dalam satu persaudaraan,dalam satu ikatan,
                          ikatan berasal keabadian langit.
                          Berkumpulnya dirindukan, bekerjanya saling menolong,
                          berpisahnya saling menguatkan,
                          Terpisahpun hanya masalah jasad,
                          karena ruh-ruhnya tak pernah merasa terpisah.
                          Karenanya saat dipertemukan, sebelum mata saling menyapa,
                          hati sdh bergetar berlari untuk memeluk mendahului jasad.
                          Itulah Buah terbaik dari seorang teman,
                          Yang ikatannya bisa lebih kuat dibanding ikatan darah sekalipun
                          Karena mereka terlahir dari satu rahim yang sama,
                          rahim keimanan, rahim ukhuwah, rahim kebaikan
                                              ....Maka dimuliakanlah mereka di taman surga.....

Untuk sahabat2 saya yg telah dipanggil Allah di bulan November 2011, Semoga dalam ampunan dan kemuliaan di alam kubur maupun nanti dihari berbangkit, ijinkan ya Allah utk lebih mulia dari kehidupan yang telah berlalu. 15 Nov 2011