Tentang
Merawati Cara Berkata-kata:
Merawati
cara berkata-kata adalah suatu kegiatan yang harus diagendakan. Dalam
lingkungan terkecil berupa keluarga, bisa jadi adalah tempat terbaik untuk
berlatih merawati cara berkata-kata. Terus terang saya sendiri sedang sangat
menikmati "rasa" berkata-kata ini di keluarga, apalagi jika sudah
mulai mendengar anak-anak merespon dengan full passion bahasan-bahasan seputar
sekolah, teman-temannya, atau kegiatan kesehariannya.
Sampai
kemudian terbersit tanya, akankah 10 tahun kedepan masih seseru inikah orang
tua akan berkata-kata dengan anaknya? Kira-kira kalau anak juga boleh
menerawang 10 tahun lagi, pertanyaan anakpun akan sama. Apakah 10 tahun lagi
akan seseru ini ngobrol dengan ortunya? Dikembangkan lagi, pertanyaan yang sama
juga bagi yang sudah berpasangan, akankah 10 tahun lagi berkata-katanya masih
seseru seperti di 3 tahun pertama perkawinan? Apakah semakin berkurang umur
disemua pihak akan semakin banyak diamnya alias sedikit berkata-kata,
tergantikan semakin banyak bahasa tubuh, bahasa simbol sebagai alat komunikasi?
Sekedar jawaban singkat, ketus, anggukan, gelengan, atau dengusan? Antara anak
dengan ortunya, antara suami dengan istri? Sedangkan jika yang tersebut itu
berada di luar rumah dengan pihak lain, bisa begitu deras, riuh, dan betah untuk
berkata-kata..#Bagi saya, baru membayangkan saja sudah merasa begitu
mengerikannya#.
Kalau di
luar rumah begitu riuh, maka hilangnya minat berkata-kata dalam sebuah keluarga
(atau dalam suatu hubungan apapun) ternyata belum tentu karena tak ada lagi
kata, tetapi lebih karena hilangnya ketertarikan untuk berkata-kata. Kata
seorang pakar budaya, maupun guru saya, Ketertarikan itu meredup dan kemudian
hilang karena “seni” berkata-kata yang tidak terawat. Berkata-kata tidak hanya
berbuah pernyataan. Kapan ortu harus sudah mulai mengurangi berkata-kata,
dengan lebih banyak mendengar dan memberi peragaan keteladanan bagi
anaknya..itu adalah juga seni berkata-kata.
Bayangan
mengerikan rumah yang miskin kata-kata inilah yang membuat saya terpikir
nasehat guru saya, tentang pentingnya terus menerus merawati cara berkata-kata.
Dan cara terbaiknya ternyata dengan merawati hati. Katanya hati yang terawat
dengan siraman, pupuk dan cahaya iman, maka dengan sendirinya akan membaikkan
apa yang disekitarnya.
Guru saya
berikutnya menyederhanakan bahasannya dengan berkata, “Kalau mulut ini secara
ideologis hanyalah pasukan dari hati. Jadi ini pasti bukan hanya soal seni
berbicara; ini soal suasana hati yang jika terus diperbaiki, maka kata-kata
akan meramai dengan sendirinya”. Ini sudah hukum alam, berlaku pada setiap
hubungan, anak-ortu, murid-guru, yang dibina dan yang membina, pegawai-atasan,
rakyat-pemimpin. Jadi, merawati cara berkata-kata berkorelasi kuat dengan cara
merawati iman di hati. Begitulah yang kita semua bisa maknai dari jejak rekam
yang diteladankan baginda Rasulullah Sallallahu
Alayhi Wasallam, baik sebagai pedagang, suami,
ayah, kakek, panglima perang, pemimpin negara, maupun pemimpin umat.
Sebagai
penutup tentang berkata-kata :
Di atas
sepeda motor roda dua, dalam perjalanan pulang dari sebuah Taman Kanak-Kanak,
“Bermain
apa tadi di sekolah nak?” tanya sang ayah. “Bermain ayunan, pasir, menggambar
dan bernyanyi…oh iya aku dapat lagu baru Bi!” jawab si anak. Terbayang punya
bahan menarik untuk dibahas, maka ayahnyapun menyusuli dengan antusias, “Oh ya?
Ayo nyanyi dong…”.
“Emm…nanti
aja kalau sudah sampai rumah” tak kalah cerdik si anak 3,5 tahun itu berkelit
dari tantangan ayahnya.
Singkat
cerita, sesampainya mereka dirumah,
Sang ayah
menagih janji sang anak, “Ayo katanya mau nyanyi lagu baru, mana hayo?”
Si anak
kemudian sambil senyum-senyum bilang, “emmm…apa ya..hmm..apa ya”
Menyadari
kalau dikerjain si anak, dan baru ingat kalau si anak memang belum punya
catatan sejarah kalo bisa bernyanyi, maka sambil menahan gemasnya sang ayah
berkata, “Yeee adik! bilang saja kalau dari tadi tidak hafal lagunya, pakai
alasan aja…Abi doain jadi imam masjidil haram baru tau rasa ya..”