Wednesday 5 June 2013

Tentang Merawati Cara Berkata-kata:



Tentang Merawati Cara Berkata-kata:
Merawati cara berkata-kata adalah suatu kegiatan yang harus diagendakan. Dalam lingkungan terkecil berupa keluarga, bisa jadi adalah tempat terbaik untuk berlatih merawati cara berkata-kata. Terus terang saya sendiri sedang sangat menikmati "rasa" berkata-kata ini di keluarga, apalagi jika sudah mulai mendengar anak-anak merespon dengan full passion bahasan-bahasan seputar sekolah, teman-temannya, atau kegiatan kesehariannya.

Sampai kemudian terbersit tanya, akankah 10 tahun kedepan masih seseru inikah orang tua akan berkata-kata dengan anaknya? Kira-kira kalau anak juga boleh menerawang 10 tahun lagi, pertanyaan anakpun akan sama. Apakah 10 tahun lagi akan seseru ini ngobrol dengan ortunya? Dikembangkan lagi, pertanyaan yang sama juga bagi yang sudah berpasangan, akankah 10 tahun lagi berkata-katanya masih seseru seperti di 3 tahun pertama perkawinan? Apakah semakin berkurang umur disemua pihak akan semakin banyak diamnya alias sedikit berkata-kata, tergantikan semakin banyak bahasa tubuh, bahasa simbol sebagai alat komunikasi? Sekedar jawaban singkat, ketus, anggukan, gelengan, atau dengusan? Antara anak dengan ortunya, antara suami dengan istri? Sedangkan jika yang tersebut itu berada di luar rumah dengan pihak lain, bisa begitu deras, riuh, dan betah untuk berkata-kata..#Bagi saya, baru membayangkan saja sudah merasa begitu mengerikannya#.

Kalau di luar rumah begitu riuh, maka hilangnya minat berkata-kata dalam sebuah keluarga (atau dalam suatu hubungan apapun) ternyata belum tentu karena tak ada lagi kata, tetapi lebih karena hilangnya ketertarikan untuk berkata-kata. Kata seorang pakar budaya, maupun guru saya, Ketertarikan itu meredup dan kemudian hilang karena “seni” berkata-kata yang tidak terawat. Berkata-kata tidak hanya berbuah pernyataan. Kapan ortu harus sudah mulai mengurangi berkata-kata, dengan lebih banyak mendengar dan memberi peragaan keteladanan bagi anaknya..itu adalah juga seni berkata-kata.
Bayangan mengerikan rumah yang miskin kata-kata inilah yang membuat saya terpikir nasehat guru saya, tentang pentingnya terus menerus merawati cara berkata-kata. Dan cara terbaiknya ternyata dengan merawati hati. Katanya hati yang terawat dengan siraman, pupuk dan cahaya iman, maka dengan sendirinya akan membaikkan apa yang disekitarnya.

Guru saya berikutnya menyederhanakan bahasannya dengan berkata, “Kalau mulut ini secara ideologis hanyalah pasukan dari hati. Jadi ini pasti bukan hanya soal seni berbicara; ini soal suasana hati yang jika terus diperbaiki, maka kata-kata akan meramai dengan sendirinya”. Ini sudah hukum alam, berlaku pada setiap hubungan, anak-ortu, murid-guru, yang dibina dan yang membina, pegawai-atasan, rakyat-pemimpin. Jadi, merawati cara berkata-kata berkorelasi kuat dengan cara merawati iman di hati. Begitulah yang kita semua bisa maknai dari jejak rekam yang diteladankan baginda Rasulullah Sallallahu Alayhi Wasallam, baik sebagai pedagang, suami, ayah, kakek, panglima perang, pemimpin negara, maupun pemimpin umat.

Sebagai penutup tentang berkata-kata :

Di atas sepeda motor roda dua, dalam perjalanan pulang dari sebuah Taman Kanak-Kanak,
“Bermain apa tadi di sekolah nak?” tanya sang ayah. “Bermain ayunan, pasir, menggambar dan bernyanyi…oh iya aku dapat lagu baru Bi!” jawab si anak. Terbayang punya bahan menarik untuk dibahas, maka ayahnyapun menyusuli dengan antusias, “Oh ya? Ayo nyanyi dong…”.
“Emm…nanti aja kalau sudah sampai rumah” tak kalah cerdik si anak 3,5 tahun itu berkelit dari tantangan ayahnya.
Singkat cerita, sesampainya mereka dirumah,
Sang ayah menagih janji sang anak, “Ayo katanya mau nyanyi lagu baru, mana hayo?”
Si anak kemudian sambil senyum-senyum bilang, “emmm…apa ya..hmm..apa ya”
Menyadari kalau dikerjain si anak, dan baru ingat kalau si anak memang belum punya catatan sejarah kalo bisa bernyanyi, maka sambil menahan gemasnya sang ayah berkata, “Yeee adik! bilang saja kalau dari tadi tidak hafal lagunya, pakai alasan aja…Abi doain jadi imam masjidil haram baru tau rasa ya..”





Saturday 1 June 2013

Tentang bertanya

Tentang bertanya:

Bertanya bagi anak sepertinya adalah bagian serius dari kehidupan mereka....

"Bi, kenapa tentara-tentara itu hanya latihan berperang"? tanya si sulung saat kami berada tepat dibelakang sebuah truk militer dalam suatu perjalanan sore.
"Karena mereka tidak punya musuh yang harus diperangi, jadi biar mereka tetap lincah kalau nanti perang betulan, maka mereka harus tetap berlatih", Jawab saya sambil kosentrasi menjaga jarak dengan sang truk.
"Kenapa mereka tidak ke Palestina? Disana kan mereka bisa berperang membantu palestina" tanyanya lagi.
"Karena nanti Amerika akan membantu Israel, dan karenanya Papua bisa merdeka seperti Timor-timur dahulu. Negara kita belum berani untuk itu", jawab saya. Obrolan kamipun menjadi panjang, dan mau tidak mau beririsan dengan pemahaman Al Haq wa Al Bathil. "Boleh tidak Bi, anaknya Presiden yang memerintahkan berperang kepada tentara?"..."Jadilah Presiden nak, karena kalau kamu "cuma" anak presiden tetap saja tidak boleh memerintahkan berperang". Doa itupun meluncur.

Bertanya bagi anak sepertinya adalah bagian serius dari kehidupan mereka yang sering disalah artikan oleh orang dewasa ataupun bahkan oleh orang tuanya sendiri. Disalah artikan bisa jadi berupa pengabaian, bisa berupa ketidak acuhan dengan tidak memandang muka  dan bertatap mata dengan sang penanya, bahkan bisa berupa juga hardikan keras. Yang seperti itu biasanya bertujuan agar si anak tidak bertanya-tanya lagi, karena riuhnya pertanyaan berarti gangguan bagi orang orang-orang dewasa itu.

Bertanya bagi anak sepertinya juga adalah bagian sebuah permainan yang mereka lakoni dengan serius yang juga sering disalah artikan oleh orang dewasa ataupun bahkan oleh orang tuanya sendiri. Disalah artikan bisa jadi berupa keluarnya jawaban-jawaban asal tanpa dipikir alias asbun (asal bunyi) dengan mimik muka serius dari orang dewasa ataupun bahkan oleh orang tuanya sendiri. Yang demikian ini biasanya si ortu sedang punya masalah lain yang sedang dipikirkan dan momennya tepat bersamaan dengan si kecil yang bertanya. Bisa jadi yang dipikirkan pun hanya sebuah gosip yang barusan dibaca di koran yang masih digenggam, ataupun kabar tidak jelas dari portal news yang terbaca di layar ipad, BB, HP, dll.

Si anak mungkin masih belum tahu cara menginterupsi "kesibukan" ortunya jika hendak bertanya, mereka hanya tahu bahwa sedang terpikir tanya, maka simple saja..langsung bertanya. Si anakpun bisa jadi belum mengerti apakah ada persolaaan lain yang lebih besar daripada persoalan yang sedang dia tanyakan.

Sepengetahuan saya, ternyata pertanyaan anak-anak punya bobot yang bermacam-macam. Dan bobot yang bermacam-macam itu akan sangat berbahaya jika tidak diseriusin. Ya berbahaya karena bisa menyangkut keberlangsungan harmoni dan kedamaian di dalam keluarga, juga kerukunan dengan tetangga, lebih luas lagi keberlangsungan bangsa dan negara ini, bertambah tinggi lagi hubungan antar negara di dunia ini. So..jawaban-jawaban kita pada mereka akan menentukan apakah negara kita nanti yang akan diwarnai oleh orang-orang asing, ataukah anak-anak kita yang nanti akan mewarnai negara-negara asing itu dengan izzah dan kearifan yang kita wariskan.

Atau jangan-jangan kita tidak pernah bercita yang tinggi untuk anak-anak kita????..bercita bahwa mereka yang akan mewarnai dunia ini

Maafkan ibu dan bapakmu nak..doakan kami yang banyak..yang banyak