Wednesday 5 December 2012

Jawaban sebelum pertanyaan

Terkadang Jawaban atas suatu pertanyaan muncul terlebih dahulu daripada pertanyaannya. Allah mempunyai cara tersendiri dan hak preogratif untuk menunjukkannya. Dalam suatu perjalanan berkereta api, saya bertemu dengan seorang pengusaha yg dengan senang hati menceritakan capaian2nya selama ini. Perjalanan hidupnya dari sejak anak-anak sampai dia juga punya anak diceritakannya dengan gamblang. Obrolan kami begitu hangat dan terkadang meliuk-liuk untuk mengusik nurani ini. Tujuan hidupnya untuk kaya sepertinya sudah menemui titik terang, dan menurutnya dengan kaya maka seseorang dapat berbuat banyak dan beramal juga lebih banyak daripada manusia dengan profesi selain pengusaha. Setiap profesipun mempunyai kapasitas sendiri untuk bisa menghasilkan..pernyataan tersebut sekilas memang benar, tapi menjadi tidak benar tatkala dibarengi dengan keyakinan bahwa hitungan matematis juga berlaku dalam agama kita. Bahwa dalam hitungan matematis satu ditambah satu adalah 2. Dalam Islam, satu ditambah satu bisa jadi tidak ada nilainya alias nol (=tidak ikhlas) tapi bisa jadi menjadi deret ukur yang tidak terbatas (Deret Ukur adalah deret yang perubahan sukunya berdasarkan perkalian terhadap  sebuah  bilangan tertentu), contohnya: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, mengajak berbuat baik yg kemudian diikuti oleh orang yang kita ajak tersebut.  
Saya ulangi sekali lagi dan saya tambahin kelanjutan pernyataan teman seperjalanan saya tadi: Setiap profesipun mempunyai kapasitas sendiri untuk bisa menghasilkan, jika dia mendapat materi yang lebih dan bahkan berharap punya lebih, bisa dipastikan dia melakukan atau akan melakukan korupsi. Nah kini terlihat bedanya. Antara pernyataan yang sepenggal tadi dengan yang seutuhnya. Maka setelah beberapa waktu berlalu, saya merenung akan pernyataan teman seperjalanan saya. Pasti ada hikmahnya, kenapa saya ditunjukin suatu perjalanan yang mengaduk perasaan saya. Terus terang saya tersinggung jika profesi sebagai guru dianggap sebelah mata, dan walaupun saya tahu dalil ttg ilmu yang bermanfaat tsb, masih ada tanya tenatang hikmah dari obrolan tsb.
Hingga sampai suatu ketika Allah tunjukkan suatu pertanyaan yang jawabannya ada pada obrolan yang telah saya alami tersebut.

Wednesday 7 November 2012

Mencari Kambing putih

Melihat tempat lain yang begitu mudahnya untuk mendapat fasilitas penelitian beserta dananya, maka yang ada hanya tinggal menggerutunya kita. Menyalahkan orang lain atau keadaan yg sehari-hari ditemui dan mengungkung atas apa yg terjadi pada diri kita hanya akan membawa kita menjauh dari rasa syukur. Rasa syukur yang hilang akan menjadikan rasionalitas semakin berkurang apalagi ruh yang terhubung dengan kekuatan langit. Yang ada hanya menggerutu dan saling menyebarkan kebencian. Saling berbagi, tetapi berbagi energi negatif, untuk seterusnya menumpuk energi negatif itu. Kembalinya adalah rasa syukur dan prinsip jalani saja...percayalah bahwa semua ada buahnya

Anakku, Abi temanin merapikan yuk

Salah satu kiat mengajak anak untuk bisa membiasakan melakukan 'ritual' merapikan atau membuang adalah keterlibatan kita secara fisik dalam membersamainya. Ketika putra kami yang ketiga (Azka) mempunyai kebiasaan baru, yaitu suka mengambil buku dari rak buku dan tidak ada rencana baginya untuk mengembalikan, maka kitalah yang harus mengajarkan apa yg harus dilakukannya.
Sangat mudah kalau orang tua kemudian ngomel-ngomel, karena si buah hati tidak mau merapikan buku2 yang diambilnya. Atau kemudian orang tua berteriak kepada si anak untuk segera merapikan...Bisa kita duga pasti anak yang diperlakukan seperti itu akan sangat enggan melaksanakan apa yg diperintahkan orang tuanya. Energi negatif dari teriakan ortu yg disertai rasa jengkel akan sampai ke anak, yang secara alamiah juga akan merasakan dan memberikan respon yang negatif pula. Sampai pada tahap yang lebih parah, jika sang anak trauma karena dimarahi habis2an akibat dari perbuatannya, dia tidak akan berani lagi mendekati rak buku apalagi mengambil salah satu buku yg ada. Jika itu terjadi bisa kita bayangkan perkembangan intelektual si anak yang tanpa buku sebagai pintu masuk pengetahuan.
Kiatnya: berikan sugesti positif, agar si anak mau membiasakan merapikan apa yg sudah dia ambil. Saat putra kami sudah selesai dg hajat melihat-lihat buku yg diambilnya, maka saya katakan kepadanya..Azka ayo bukunya dirapikan kembali, mari abi temanin mengembalikan ke rak. Kata-kata yang disertai aktifitas motorik kita dengan memberikan baik sangka bahwa akan diikuti si anak ternyata akan berbuah hal yg positif. Tahap berikutnya saya akan mengambil salah satu buku yang ada di lantai dan saya letakkan di rak. Ternyata cara itu cukup ampuh, karena Azkapun melakukan hal yang demikian. Naik ke level berikutnya,  saya ajak dia bekerja sama dengan saya yang mengambil bukunya dari lantai, dan dia yang memasukkannya ke rak buku. Alhamdulillah dengan cara itu lebih meng"enakkan" kedua belah pihak (saya dan anak) kami sama2 lega karena kepentingan saya maupun kepentingannya bisa sama2 terlaksana.

Tuesday 31 July 2012

Jagongan ba’da taraweh dg Mendikbud, Dirjen dikti, dan Rektor


“Mau jadi orang besar kok kuliah di universitas kecil”. Sebuah ungkapan spontan yang muncul di dalam hati seorang gadis puluhan tahun yang lalu saat dia dibujuk oleh salah satu universitas untuk tidak membatalkan dan menarik kembali uang kuliah yang sudah terlanjur dia setorkan. Pertanyaannya, kenapa sampai dia membatalkannya? karena disaat yang bersamaan ternyata dia juga diterima di FMIPA ITB. Seiring berjalannya waktu gadis tersebut akhirnya mengabdikan ilmunya di almameternya. Ini sekedar intermezo untuk membuka cerita ttg kampus, dan tidak bermaksud menyinggung siapapun karena dalam rangkaian ceritanya kepada kami tentang bagaimana dia jatuh cinta pada Fisika ITB.
Seperti yang telah saya share beberapa waktu lalu tentang kedatangan bp. Dahlan Iskan di kampus, perkenankan saya juga akan share hal-hal yang menarik terkait kedatangan pak M. Nuh dan pak Djoko Santoso (dirjen dikti/mantan rektor). Seharian kemarin (Sabtu, 28 Agt 2012) Mendikbud berkeliling dari satu acara ke acara lainnya di ITB. Dari pagi, beliau memberikan orasi ilmiah pada acara penerimaaan mahasiswa baru, sampai kemudian berdialog dg mhs penerima beasiswa bidik misi di halaman masjid Salman, memberikan kultum taraweh (kuliah 30 menit), dan ditutup jagongan dg mahasiswa setelah sholat taraweh sampai jam 10 malam. Sebelum ke masalah “inti” terkait UU Dikti, yg menyangkut kita baik sebagai mahasiswa maupun dosen, ijinkan saya sedikit cerita tentang acara penerimaan mahasiswa baru. Acara tersebut menarik agar kita bisa memetik hal positif yg mungkin bisa juga kita terapkan di kampus tercinta masing2.
Saya mengamati, bahwa menjadi tradisi ITB utk memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai “kehebatan” ITB sejak awal kepada mahasiswanya, sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki mereka ditempat yg nantinya juga akan melepas mereka ketika meninggalkan almamaternya. Tidak lain untuk membuat mereka sadar ttg beban nama baik, dan menjadi penyemangat untuk melakukan apa yg telah ditanamkan kepada mereka. Pidato rektor dibuka dengan Ucapan “Selamat datang calon pemimpin global” (targetnya sekarang tidak hanya Indonesia), rektor jg mengingatkan perlunya interaksi sosial (tahun lalu ada 1 mhs bunuh diri), beliau juga mengingatkan akan adanya amanat memajukan Indonesia dibalik kesempatan menjadi putra putri terbaik bangsa. Sidang pun segera dilanjutkan dengan kuliah umum dari M.Nuh. Nuh pun berpesan kepada mahasiswa baru supaya tetap bersikap jujur, berbakti kepada orang tua, dan bekerja keras. Tentang sikap jujur, saya pernah melewati suatu kelas yg sedang “memajang” beberapa mahasiswa yang sedang membacakan janji, dimana janji itu ditampilkan di layar dg bantuan proyektor. Mereka berjanji bersama-sama didepan dosen dan temen sekelasnya untuk tidak mengulangi tindakan yg tidak jujur dalam ujian...dalam hati satu satunya komentar saya “wow”, utk sanksi sosialnya, itu belum sanksi akademiknya. Di kesempatan yg lain, disamping pintu ruangan TU sebuah fakultas saya pernah membaca nama-nama mahasiswa beserta nim-nya yg ketahuan mencontek beserta nilai awal dan disampingnya nilai akhir yg diturunkan sebagai hukuman atas menconteknya. Saya dan seorang temen pun pernah mengawasi ujian akhir suatu mata kuliah, dan kami juga mencatat beberapa nama mahasiswa yg kami lihat berbuat curang, kemudian tanpa ada protes, tawar menawar, maupun negosiasi dari siapapun, akhirnya nama yg tercatat tersebut mendapat nilai E. Sesuai aturan di kampus, kalau mencontek ada teguran (teguran itu setelah nilai dikeluarkan, bukan teguran saat berlangsung ujian di kelas), kemudian teguran tertulis, dan yg ketiga di DO. Begitulah enaknya kalau konsisten dg aturan.
Kembali ke acara sidang...Sidang dilanjutkan kembali dengan orasi ilmiah tentang “Aplikasi Ilmu Hayati dalam Menjawab Tantangan Pangan di Abad ke-21, juga pemberian penghargaan kepada dosen berprestasi, mahasiswa berprestasi, dan penerima Ganesha Prize. Penghargaan ini diberikan menurut prestasi masing-masing bidang dosen, fakultas, dan program TPB dan diberikan oleh Akhmaloka bersama dekan dari tiap fakultas. Menarik disini bahwa mahasiswa baru sudah diperkenalkan dengan arti dari “penghargaan dan “kompetisi”, bahkan sejak awal, dalam wujud pemberian penghargaan. Penghargaan dari menteri pendidikan dan kebudayaan pun diberikan untuk peraih Ganesha Prize tahun ini, Hendra (TK ‘08). Paling tidak ada mahasiswa-mahasiswa yang dalam hatinya tercetus untuk dikemudian hari merekalah yang berdiri didepan dan menerima penghargaan.
Saat menjelang berbuka pak Nuh berdialog dengan para penerima beasiswa bidik misi, mereka ditanya tentang IPK (ada mahasiswa Farmasi yang IPK 3,85), pekerjaan orang tua, dan aktivitas di kampus. Pak nuh berpesan supaya mereka bangga dengan orang tuanya sebagaimana beliau juga bangga dengan orang tuanya yg mempunyai anak 10 orang walau hanya berprofesi sebagai tukang krupuk. Dan beliau juga menganjurkan mahasiswa agar membawa orang tuanya utk diperkenalkan ke dekan ataupun ke rektor agar orang tuanya tahu bahwa anak mereka sekolah di tempat terbaik. Di akhir acara beliau membagikan buku Chaerul Tanjung ke semua mahasiswa penerima beasiswa dengan maksud agar mereka termotivasi, bahwa mereka juga akan bisa menjadi orang hebat...(memotivasi mahasiswa lagi..)
Ba’da sholat isya pak Nuh memberikan ceramah ttg definisi hati dan perumpaan sebuah rumah yang mempunyai halaman depan, ruang tamu, kamar pribadi dan brankas, yang berkorelasi dg hati (Al Shodr, Al Qalb, Al Fuad, dan Al Lub), serta 5 pohon yg harus ditanam di halaman rumah agar mengundang sebanyak orang masuk ke rumah untuk merasakan Islam. 5 pohon tersebut adalah: pohon Ilmu, pohon kejujuran, pohon sabar, pohon amal, dan pohon kasih sayang, Ceramah ditutup dg syair Arab yg beliau dendangkan...pak Kyai Nuh. Setelah shalat taraweh, saya perhatikan Pak Nuh menjawil imam sholat. Ternyata beliau mengenali bahwa imam sholatnya adalah keponakannya, dan mahasiswa itu memang dari tadi tdk menyapa beliau..hehe kan jadi Imam sholat. Mahasiswa teknik sipil angkatan 2011 tsb memang salah satu imam Salman dan benar keponakan pak Nuh. Demikian bangganya pak Nuh karena yg mengimami keponakannya, sampai kemudian diperkenalkannya ke ketua Yayasan Salman (yg ini tentu sudah kenal, dan hanya senyum2), dan juga kepada dirjen dan rektor.
Menjadi kebiasaan di masjid Salman, jika ada pejabat pemerintah datang dan sholat taraweh, maka ada acara tambahan setelah sholat taraweh, yaitu acara jagongan dengan mahasiswa. Jagongan karena antara para pejabat dan mahasiswa tidak ada jarak dan bahkan bisa bersebelahan dalam posisi duduk melingkar. Malam itu memang spesial karena menterinya pendidikan hadir, direkturnya pendidikan tinggi hadir, rektor perguruan tingginya pun hadir. Sehingga pertanyaan-pertanyaan mahasiswa bisa dijawab oleh orang-orang yang tepat. Isu yang dibahas sangat beragam, mulai dari hubungan antara pendidikan dan tingkat kesejahteraan rakyat, bagaimana pak Nuh dari dunia pendidikan dapat masuk ke pemerintahan, kualitas guru yg gitu-gitu saja walau sudah ada sertifikasi dan akan dilakukannya uji kompetensi, mahasiswa yang prihatin karena di daerahnya (pedalaman Riau) murid2 tdk punya buku pelajaran dan hanya belajar dari LKS, suka duka mahasiswa yang nekat masuk ITB tanpa punya biaya apa2 (saat itu belum ada beasiswa bidik misi), pendidikan berkarakter dan implementasinya, peran Kemendikbud dalam membendung budaya K Pop yang melanda remaja Islam, ada juga mahasiswa yang ngefans dan meminta tipsnya pak Nuh karena ingin seperti beliau. 
Menanggapi pertanyaan tentang bagaimana beliau masuk ke pemerintahan dan juga terkait tips, begini jawaban beliau: "Saya dulu di kampus memulai karir di masjid mulai dari nggelar kloso (tikar), kemudian naik pangkat menjadi yang mengumumkan pengumuman menjelang khotbah, kemudian yang menjemput khotib, kemudian menjadi badal khotib (khotib pengganti), dan kemudian menjadi khotib. Kesemuanya itu terjadi begitu saja, karena kita sudah dari jauh-jauh hari belajar dan mempersiapkan diri. Jadi ketika waktunya dan kesempatannya sudah datang, kita juga sudah siap. Mulai dari sekarang kalau bisa mahasiswa sudah menyapkan 3 hal, yaitu ilmu+kemampuann, networking, doa (jangan lepas dari shalat tahajud, shalat dhuha). Insya Allah kalau kalaian punya kemauan, pasti akan ada jalannya.
Terkait UU Dikti, menurut pak Nuh, nantinya tidak ada lagi siswa yang berprestasi tapi tidak bisa kuliah karena alasan biaya. Karena nanti ada bantuan pemerintah dan perguruan tinggi wajib menyediakan kursi bagi mahasiswa yang tidak mampu. Juga nantinya ada alokasi dana sebanyak 30% bagi penelitian dosen (Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN dari anggaran fungsi pendidikan, yang mana paling sedikit 30% untuk dana Penelitian di PTN dan PTS). Sehingga tidak ada lagi dosen yang tidak melakukan penelitian (semua dosen). Tentang yang terakhir ini saya lihat di ITB sudah diterapkan, seorang dosen paling tidak mempunyai satu hibah penelitian dari ITB/Dikti. Ngobrol-ngobrol dengan temen dosen Jember, mungkin salah satu sebab begitu akurnya dosen di Fisika ITB karena semua dosen punya “mainan sendiri” jadi tdk sempat melakukan “hal lain”.
Pertanyaan selanjutnya bagi kita yang di bawah Kemenag, apakah masing-masing dosen yang bernaung dibawah Kemenag juga akan memproleh dana penelitian dari anggaran yang 30% tersebut? Eh pertanyaan itu sepertinya terlalu dini untuk ditanyakan, karena sepertinya UU Dikti berlaku di lingkungan Dikti, tidak akan berimbas pada DIKTIS...namanya juga UU Dikti bukan UU Diktis (...ngapunten, dikoreksi kalau salah)
Salah satu pertanyaan yang menarik dan sering terjadi dimanapun kita berada adalah masalah keterlambatan beasiswa. Seorang mahasiswa teknik Geologi semester 6 bercerita bahwa karena cita-citanya yang begitu menggebu untuk bisa kuliah di ITB, dia tidak lagi memikirkan bahwa orang tuanya tidak bisa membiayai sekolah. Satu-satunya modalnya adalah NEKAT, dan saat dia sudah diterima sebagai mahasiswa ternyata memang dia mendapat beasiswa, walaupun katanya beasiswa tersebut sering terlambat sampai beberapa bulan. Pak Nuh menjawab bahwa sekarang mulai dirancang bahwa beasiswa itu dianggap sebagai upah, sehingga seperti gaji pegawai, yang setia Januari sudah pasti keluar, tanpa harus disyahkan anggarannya melalui DPR. Karena kalau mekanismenya tidak sebagai upah maka keterlambatan itu akan terus terjadi. Saat saya mendengar penjelasan itu, alangkah baiknya kalau Kemenag juga punya pemikiran yang sama, sehingga nasib kami yang harus menunggu cairnya beasiswa samapai 1 semester tidak berulang setiap tahun. Apalagi saya dengar akan ada beasiswa keluar negeri yang diadakan Kemenag mulai tahun ini. Jangan sampai teman2 yang nantinya berangkat kuliah ke luarnegeri belum ada kepastian sampai berbulan-bulan lamanya tentang nasib pencairan uang kuliah dan living costnya. Bagaimana akan bisa kuliah dengan kosentrasi penuh, sedangkan disaat bersamaan harus mencari hutangan atau bahkan bekerja untuk menyambung hidup...kenapa belajar untuk kepentingan negara akan sesengsara itu?

Sudahlah...akhirnya kata itu yang akan mengakiri cerita panjang dari sebuah perguruan tinggi yang menapaki cita-cita globalnya. Tidak perlu ada yg diirikan, yg baik diambil manfaatnya, yg bikin iri dibuang jauh dari hati kita. Akan indah dan banyak perbedaan bagi masa depan Universitas kita tercinta jika model “jagongan” informal di masjid juga ada di masjid “laboratorium” kita...mahasiswa terlatih untuk berdialog dengan santun...pejabatnyapun tidak kapok untuk juga berbagi. Tentu saja selain dengan pejabat kampus juga dengan pejabat2 dari Jakarta yang juga mau “mampir”. Hehehe..iseng aja, kenapa tidak banyak pejabat yg mau mampir ditempat kita? masing-masing kita tahu jawabnya.

Akhirnya kita bisa memandang dari berbagai perspektif, terkait pernyataan dosen saya di awal tulisan diatas.

Yang terus belajar dan belajar untuk berbagi

Thaqibul Fikri N

*Info dari Pak Nuh: Unibraw akan menerapkan kenaikan SPP progressive utk mahasiswa yang memasuki semester 9 (ada kenaikan 15 persen), jika semester 11 belum lulus juga SPPnya menjadi 30% dst. Karena kalau tidak tepat waktu kuliah dianggap telah menghambat masuknya adik2nya yg baru karena dia menggunakan uang rakyat diluar batas waktu yang telah ditentukan

Sunday 6 May 2012

Salah Elo Sih!

“Bro...aku barusan kena musibah nih...dompet gue dicopet waktu ngantri keluar stasiun”....Yg disebut bro-pun (kita sebut aja namanya si-Bro) nimpali  dg spontan: “Lo sih kagak hati-hati, makanya sedeqah...itu tandanya elo kurang sedeqah..jadi deh diminta paksa sama Tuhan”. Dalam hati si pentutur pertama yg kita sebut aja si-Lo berkata “Mending tadi gue kagak crita ke ente”. Selang beberapa hari kemudian secara tidak disengaja keduanya bertemu di kantor polisi dengan urusan yg berbeda, si -Lo ngambil dompet yg hanya tinggal surat2 penting didalamnya, sedangkan si-Bro sedang melaporkan kehilangan motornya yg ditaruh depan kost2annya.

Sahabat..Adanya kesulitan, kesusahan, musibah, kecelakaan, kehilangan, sakit, yg terjadi pada seseorang bukanlah ukuran ketidakbarokahan kehidupan seseorang.

demikian juga...Adanya kesehatan, keberhasilan, kesuksesan, kelancaran, diperolehnya sesuatu ataupun rezeki, yg terjadi pd seseorg juga belum tentu bisa dijadikan suatu ukuran kebarokahan kehidupannya.

Rezeki barokah indikatornya sedikitnya adalah cukup, lebihnya adalah manfaat...kalau dilengkapin maka ukuran kebarokahan:  ada tidaknya peningkatan keimanan/peningkatan amal/peningkatan nilai  serta kedekatannya pd Allah setelah setiap kejadian yg terjadi padanya, dari waktu ke waktu. Itulah makna sejati kebarokahan hidup.

Kalau dihubungkan dg kejadian sehari-hari yang sering kita jumpai (lihat awal tulisan): ...Jika ada seorang sahabat mendapatkan musibah, kehilangan barang miliknya, ataupun menderita sakit kemudian menceritakannya kepada kita, biasanya segera muncul bisikan buruk dari dalam hati yg bilang “Kurang sedeqah sih...kurang amal sih...banyak dosa sih...dan banyak2 juga lainnya yg negatif”  (yg kita anggap kesemuanya itu menjadi sebab hidupnya yg tidak barokah, sehingga kemalangan-kemalangan itupun pantas mendatangi)...lebih buruk lagi kalau kata-kata tsb sampai terlepas keluar dari mulut bawel kita...itu jelas akan menyakiti sahabat kita. Jika kita sudah menyakitinya jelas urusannya bisa panjang,  selain nambah dosa diri, menggugurkan dosanya,  dan satu lagi yg perlu kita camkan (sebelum melakukan tindakan bodoh itu)... kitapun tidak pernah tahu siapa sebenarnya sahabat kita itu, seberapa banyak amalannya, seberapa dekat dia dg tuhannya... karena bisa jadi dia adalah salah seorang kekasih Tuhan, dan jika dia adalah kekasih Tuhan, yg berabe nantinya yg punya mulut bawel itu. Bisa jadi, Allah-lah yg akan memberikan balasan bagi siapapun yg menyakiti kekasihnya, tanpa dimintapun...sekali lagi tanpa dimintapun, oleh simanusia yg terdzolimi itu.

Maka yg lebih baik adalah segera berempati dengan senantiasa berbaik sangka padanya, demikian yg Rasulullah SAW ajarkan.

Just renungan akhir pekan, 5 Mei 2012

Persahabatan Bagai Kepompong

Teman terbaik adalah buah yang Jatuh dari pohon terbaik,
yang tumbuh dari benih terbaik yang disiram dengan kasih sayang terbaik,
dipupuk dengan doa-doa terbaik pula,
untuk kemudian disempurnakan penjagaannya oleh tangan terbaik dari langit pemberi kehidupan...
         .........................Maka dimuliakanlah mereka di taman surga.........................

Suatu pagi, sambil menunggu teman utk berangkat ke stasiun,  ada status FB yang menarik utk direnungkan: Meninggalkan sahabat berarti meninggalkan malaikat penjagamu...demikian salah satu status FB yg saya baca pada suatu pagi. Seperti ada benang merah dengan kejadian malam sebelumnya saat saya diundang oleh dua ‘teman’ makan bersama dalam rangka perpisahan di sebuah restoran ditengah kota, restoran yang dengan setia menunggui kami untuk overtime, karena sebenarnya saya dan mereka belum berkehendak atau siap untuk meninggalkan atau ditinggalkan... Sebelum lebih jauh saya berfikir tentang arti teman atau sahabat, saya asumsikan saja bahwa kehilangan atau meninggalkan keduanya mempunyai makna sejenis, sama-sama ada yang pergi.

Pada awal kesadaran saya akan arti teman, saya sering mengunakan rumus 3 laci di meja kantor saya. Tujuan awalnya sih agar diri dan pikiran saya tetap sehat, sesehat tanah gembur penuh humus walau keadaan disekeliling saya tanahnya kering kerontang, pecah-pecah dan tidak menyuburkan.

Saya punya sebuah meja kerja dengan tiga laci, Saya sering meletakkan barang sesuai klasifikasinya, laci paling atas laci dimana sering ambil dan taruh barang paling tidak dua kali dalam setiap harinya, the most important and needed begitulah sebutan utk barang2 di laci ini. Dilaci ini benda2 itu akan tersimpan, “mungkin” sampai akhir pengabdian saya alias pensiun, baru akan  saya bawa pulang bukannya ditinggal..sekali lagi dibawa pulang, bukan dibuang lho...karena nilai kenangannya yg tinggi, nilai kepantasannya yang tinggi. Laci pertama inilah tempat bagi teman yang sebenarnya, dia ada disaat dibutuhkan, tempat curhat, tempat berbagi kebahagiaan dan juga air mata...jelas laci teratas adalah tempat saya paling sering membuka dan menutupnya untuk mengambil dan memasukkan hal-hal yang sering saya pakai, yang jika kehilangan bisa bikin tdk mood utk ngapa-ngapain.

Bergerak kebawah, laci kedua tempat menaruh barang yang kemungkinan baru akan saya cari minimal 1 minggu sekali..itupun kalo masih ingat barang itu di laci kedua. Jelas yg ini semakin jarang saya buka kalo pas saya sdg sibuk2nya ngurusi kerjaan dg laci pertama. Laci kedua, laci teman-teman saya yang sekedar kalo bertemu untuk berbasa-basi, say hello, menanyakan kabar, ditambah sedikit empati kalau diperlukan..yah karena itulah teman tipe kedua ini juga tidak sampai turun kehati untuk menciptakan suasana exited, apalagi sampai berasa kehilangan bila dia meninggalkan saya.

Dan yang ketiga, laci tempat meletakkan barang-barang yang sangat-sangat, dan sangat jarang saya butuhkan, dan hampir-hampir tinggal menunggu waktu  untuk saya masukkan ke bak sampah di samping meja. Untuk yang satu ini lebih banyak saya hindari daripada saya temui, jikapun sdh ketemu sepertinya ingin segera saya tinggalkan, sebelum ketombe di kepala rontok sendiri tanpa digaruk kalau kelamaan duduk bersama dengan teman yang seperti ini. Untuk teman jenis ketiga ini, si hati sudah sering teriak untuk tidak menghindarinya, untuk tidak sembunyi darinya...tetapi kenyataannya pikiran buruk di otak lebih sering menangnya daripada si hati, terbukti saya lebih senang menggerakkan kaki untuk melangkah menjauhinya daripada menemuinya.

Btw, bagi saya pada saat itu, posisi teman di ketiga laci tsb masih bisa berubah, bukan harga mati.. paling tidak sekali dalam satu semester saya luangkan waktu untuk melihat ulang semua laci2 tsb..tentu dengan pikiran dan hati jernih, jauh dari unsur tergesa-gesa. Sampai kemudian ada alasan bagi saya, untuk berubah pikiran, mengambil barang dan menaikkannya ke laci yang lebih atas, atau terkadang malah menurunkan barang yang lain ke laci dibawahnya..mirip seperti klasemen sepakbola, ada yg terdegradasi, ada pula yang promosi ke jenjang kompetisi yang lebih prestisius. Akhirnya strategi pertemanan saya diatas telah menjadi ritme dalam menjalin hubungan pertemanan selama bertaun-tahun

Sampai kemudian di kost2an, disaat badan terasa panas dingin minta kerokan, ada temen yang ngomong gini sambil tangannya terus menggerus punggung saya dengan dengan bersemangat (khas persaudaraan sesama perantau) ... “Klo kamu meninggalkannya sebenarnya malah menutup kemungkinan kamu ditolongnya”. “Lho kok bisa?...bukannya dia yg mestinya ditolong, kok malah saya yg harusnya ditolong”, sahut saya tidak puas.

Dengan menambah tekanan pada koin yang menggores punggung, dia jawab.. “Ya.. dengan kamu tetap membersamainya kamu kan jadi banyak amalnya...kamu tertolong karena kamu akan dijadikan lebih baik..bahkan lebih mulia dari sebelum kamu ketemu dia, karena kamu dibutuhin maka kamu dimintai tolong seperti itu...”

Dan dengan hati yg dongkol sy bilang..  “Justru setelah setelah sy tinggal mungkin dia akan menjadi orang yg lebih hebat tanpa kehadiran saya...lebih mandiri kali...(walau dalam hati sy juga tdk yakin)", dan yg bikin saya juga bertambah mengkeret dan meringis karena tambah perih saja punggung, saat dia bilang ... “kalau mutus silahturahim maka gak akan dilihat, dilirik atau dianggap oleh Allah saat nanti setelah dibangkitkan...” waduh semakin panas dingin batin ini, kalau sudah mendengar yang seperti itu, walau hasil kerokannya sdh bisa sedikit mengusir panas dinginnya jasad.

Jadi jika saya ngotot untuk pakai prinsip 3 laci diatas, maka saya akan terus menggelontorkan kebaikan dan juga dapat kembalian berupa gelontoran kebaikan hanya dari satu sumber, yaitu laci teratas...jelas ada kecenderungan kesitu, karena saya sdh berada pada zona nyaman...ngapain juga saya susah-susah dengan kedua laci yang lainnya...Padahal kalau dihitung dangan rumus matematika sederhana...3 (kebaikan) x 1 (laci) hasil turunan kebaikannya akan kurang jika dibandingkan 1 (kebaikan) x 3 (laci), sekali lagi turunan kebaikan, apalagi kalau setiap laci punya anakan laci....tambah pusing lagi utk menghitungnya saking banyaknya..hehehe....jadi hasil hitungan saya adalah akan lebih banyak lagi tabungan amal saya kalau saya juga bisa dapat kebaikan+kesusahannya dari sekaligus 3 laci tersebut

Sehingga seiring berjalannya waktu dan berkurangnya umur, ada yang datang dan pergi dari kehidupan saya, ternyata pandangan saya tentang arti pertemanan di awal tadi mengalami revisi juga untuk muncul 2nd edisinya.
Begini deskripsinya...Saya akan terima semua teman yang datang pada saya dengan tangan dan hati yang  terbuka. Walaupun tetap ada tiga laci, saya akan lihat ketiganya dengan satu kacamata yang sama-sama beningnya. Bahwa saya dan mereka sama-sama bisa berhubungan secara simbiosis mutualisme, apapun posisi awalnya dilaci2 tsb. Hehehe...Saya berfikir seperti itu mungkin juga karena saat itu saya sedang keranjingan buku2 tentang berpikir positif.

Pada saat pertama kali berpersepsi, saat membuka diri itulah, saya mulai tersadar hampir-hampir secara keseluruhan akan menentukan bagaimana kelanjutan hubungan pertemanan itu akan berujung. Apakah saya memakai kacamata yang bening nan transparan untuk melihat apa adanya pada alam sadar maupun bawah sadar penuh pikiran positif, atau sebaliknya memakai kacamata yang hitam nan gelap yang menyembunyikan diri saya maupun dia dari persepsi yang jelas dari masing-masingnya.

Walaupun kenyataannya ada juga teman yang membuat kulit kepala ini semakin terasa kering dan gatal-gatal, juga membuat tubuh ini berguncang-guncang ibarat naik angkutan umum di kota yg sy tinggali sekarang, yang mana semakin lama, semakin membuat kepala cenut-cenut dan bisa-bisa dilanjut muntah-muntah.....Tetapi berdasarkan pengalaman selama ini ternyata dan Alhamdulillah kalau keadaan seperti itu tidak permanen, terkadang ada juga teman yang datang untuk menyeimbangkan kelembaban kulit kepala dan jasmani saya lagi sehingga terasa sejuk dan menyegarkan, ibarat habis creambath kemudian naik Mercedes S-class yang nyaris tanpa goncangan saat melewati jalanan berlubang-lubang plus polisi tidur...

Kalaupun kedua keadaan itu silih berganti datang...satu hal yang bisa saya ambil pelajaran...mirip-mirip prinsip ketidakseimbangan termodinamika yang pernah saya baca,yang mana prinsip itu membuat bumi kita memungkinkan ditempati makhluk hidup sampai sekarang. Maka, sy pikir2... bisa jadi kalau saya tidak mengalami itu, seperti halnya planet Venus ataupun Mars, yang semuanya sudah dalam keadaan setimbang, maka yang terasa hanya panas saja, atau dingin saja..sepanas Venus, sedingin Mars, kalaupun ada yang senang dengan keadaan seperti itu ya monggo saja, tapi menurut saya keduanya sama...monoton as death planets, alias garing..ring, ini pendapat saya lho...kalaupun anda memilih sebaliknya itu hak anda. Akhirnya saya beranggapan bahwa laci nomer dua dan tiga itu bisa berkedudukan seperti laci nomer satu tinggal bagaimana kita mau membukanya atau tidak setiap saat untuk memperbaharuinya...ini kata kerja lho, kitanya yg aktif. Aktif ini bisa aktif ke dalam diri maupun keluar dari diri kita. Karena hati ini lama-lama sakit juga kalau disakiti dengan pikiran-pikiran saya...ataupun anggapan2 saya yang negatif yang belum tentu shahih selama hampir seumur hidup...mana tahan!

Untuk yang pertama, berhubungan dg masalah pertemanan juga, ada kejadian yang sering saya ataupun anda mungkin alami..Begini...Suatu ketika jika kita sdg jalan-jalan, ada temen yg kita kenal tapi justru berlagak tidak melihat kita, kata hati: temen yang satu ini ngapain pake jalan memutar dan memalingkan muka..kalo mau papasan ya papasan aja. Yang jelas jangan terus terkaget-kaget. Alih-alih daripada kita kaget kemudian menyebarkan cerita berlebih ttg begitu cueknya atau jahatnya temen yang satu ini, seyogianya yg kemudian jadi bahan perenungan kita adalah, di laci manakah dia meletakkan saya jika perlakuannya terhadap saya seperti itu. Mungkin saya yang harusnya berkaca, mematutkan diri, memantaskan diri, menggemburkan diri untuk menjadi yang dapat diterima bukan yang ditinggalkan..tentunya ya dengan membenahi diri, kata orang “super” itu: jadikan diri kita pantas untuk diperlakukan dengan sepantasnya. Jadi saya kembali berpikir, kalau teman itu ibarat bayangan dikaca, apabila ada yang salah dengan hubungan pertemanan, bukan bayangannya yang dipersalahkan, diobok-obok, bahkan disuruh berubah dahulu. Tetapi diri saya dulu yang harusnya saya lihat dengan seksama untuk kemudian diperbaiki dahulu..bukankah teman adalah cerminan kita?

Jadi setelah mengemburkan diri agar menumbuhkan tanaman sehat dan kuat, yang nantinya menghasilkan buah terbaik pula, maka step kedua adalah bergerak keluar menggemburkan juga tanah disekitar saya. Karena mau tidak mau tanah kering kerontang itu akan merembet ke saya, ke tanah saya apabila saya tidak mau mengajak tanah yang lain untuk sama-sama gembur penuh humus, ya kalo mau selamat ya ngajak juga yang selain agar selamat, karena bisa jadi suatu saat nanti justru kita malah dibantu untuk menjadi gembur saat kita sudah mulai kering dan retak. Ya... yg berarti ada kerja aktif yang keluar dari` diri kita...dengan uluran tangan yang bisa mengangkatnya naik kelas. Sepertinya tidak perlu deskripsi lagi ttg hal ini...anda semua juga sudah lebih tahu dari banyaknya contoh orang-orang hebat disekitar kita, maupun yg telah mendahului kita

Menurut  saya, salah satu hal dari orang-orang hebat itu, yang harus saya camkan terus menerus utk diri sendiri (karena kadang saya tidak “ngeh”) adalah, kemampuan menerima apapun resiko, hasil atau balasan yang mereka terima dari teman, lingkungan, orang kebanyakan, atau bahkan dari Tuhan yang menurut orang kebanyakan dianggap sebagai suatu “kemalangan”. Ya, bahkan merekapun belum tentu sampai merasakan buah dari benih yang mereka tanam, benih yang tumbuh menjadi pohon...yang dalam perjalanannya pohon itu mungkin sempat sakit, rusak, atau bahkan patah, namun mereka tetap menanam dan menggemburkan, ya mereka yakin bahwa balasan yang terbaiklah yang akan datang pada suatu saat nanti. Karena buah dari pohon mereka akan menghadirkan rasa yang lezat bagi perut-perut yang kosong, bagi kerongkongan yang dahaga, bagi tangan-tangan terjulur..Kualitas itulah yang membuat mereka pantas disebut orang hebat. Yang membedakan saya dg mereka.

Keadaan disekeliling kita terkadang berkata lain, yang sering terjadi dan saya temui adalah saat teman kita atau orang yang kita bantu memberi balasan yang menyakitkan...sehingga misal keluarlah kata-kata seperti ini,  “Kalau 10 tahun yang lalu dia tidak saya bantu, dia tidak mungkin sesukses sekarang, dasar tak tahu diuntung sdh besar malah lupa siapa yang dulu bantuin saat sama-sama susah...”. Keterjagaan mereka akan kualitas utk tetap “murni” dengan tidak mengungkit-ungkit kebaikan yang telah ditanam,  adalah salah satu bumbu dan pupuk yang membuat buah mereka terasa lezat bagi siapapun. Walau mungkin sudah sewajarnya kita sakit hati bila orang yang telah kita gelontor kebaikan itu membalas dengan sebaliknya...Jadi ingat kata guru bijaksana di suatu senja syahdu menjelang maghrib, saat saya masih kuliah dulu, katanya, “Ikhlas itu adalah pekerjaan seumur hidup, pekerjaan terus menerus dari saat kita mulai berniat, saat kita melakukan, dan saat sesudah kita melakukannya sampai kita mati”. Itulah hal yang paling berat yang hanya pantas dimiliki oleh org yang disebut hebat, bukan yang mengaku hebat.

Jadi ikhlaslah untuk dimanfaatkan bagi kebaikan orang lain, tetangga kita, orang banyak, bahkan lingkungan kita, karena dengan itu kita dimuliakan dan dikenang karena disebut sebagai orang yang bermanfaat.

                          Teman terbaik terlahir dari rahim kebaikan
                          dari bukan siapa-siapa menjadi kenal,
                          dari kenal menjadi teman,
                          dari teman menjadi sahabat,
                          dari sahabat menjadi saudara,
                          dalam satu persaudaraan,dalam satu ikatan,
                          ikatan berasal keabadian langit.
                          Berkumpulnya dirindukan, bekerjanya saling menolong,
                          berpisahnya saling menguatkan,
                          Terpisahpun hanya masalah jasad,
                          karena ruh-ruhnya tak pernah merasa terpisah.
                          Karenanya saat dipertemukan, sebelum mata saling menyapa,
                          hati sdh bergetar berlari untuk memeluk mendahului jasad.
                          Itulah Buah terbaik dari seorang teman,
                          Yang ikatannya bisa lebih kuat dibanding ikatan darah sekalipun
                          Karena mereka terlahir dari satu rahim yang sama,
                          rahim keimanan, rahim ukhuwah, rahim kebaikan
                                              ....Maka dimuliakanlah mereka di taman surga.....

Untuk sahabat2 saya yg telah dipanggil Allah di bulan November 2011, Semoga dalam ampunan dan kemuliaan di alam kubur maupun nanti dihari berbangkit, ijinkan ya Allah utk lebih mulia dari kehidupan yang telah berlalu. 15 Nov 2011