Saturday 30 April 2016

Tentang Jurnal Publikasi

Kenapa Harus berbayar untuk mengakses Jurnal?
Antitesis darinya adalah kenapa harus mencari website yang memberikan kemudahan untuk mengakses jurnal?


http://www.sciencemag.org/news/2016/04/whos-downloading-pirated-papers-everyone
https://torrentfreak.com/sci-hub-tears-down-academias-illegal-copyright-paywalls-150627/

My love-hate of Sci-Hub

Science  29 Apr 2016:
Vol. 352, Issue 6285, pp. 497
DOI: 10.1126/science.aaf9419 
http://science.sciencemag.org/content/352/6285/497.full

Who’s reading millions of stolen research papers on the outlaw website Sci-Hub? Now we know.



The $10 billion world of academic publishing has been roiled in recent months by Alexandra Elbakyan, a 27-year-old grad student from Kazakhstan who set up an online database of 50 million stolen academic research papers for anyone to download for free.
Scholars have long denounced a publishing system in which they provide their research for free to companies that sell it at high rates of return. Some view Elbakyan as a modern-day Robin Hood. The publishers say she is simply a criminal, relying on a system that uses stolen passwords to access data.
[This student put 50 million stolen research articles online. And they’re free.]
Depending on where one falls on the Robin Hood-to-pure-criminal spectrum, an extraordinary story published (for free)  today in the journal Science shows just how much damage (or progress) Elbakyan has made.
Using data provided by Elbakyan, writer John Bohannon shows that Sci-Hub is being used frequently and widely around the world, not just in developing countries unable to afford expensive journal subscriptions, but in Silicon Valley, the Washington, D.C., region, and near major research universities.
“The Sci-Hub data provide the first detailed view of what is becoming the world’s de facto open-access research library,”  Bohannon writes.
Where are Sci-Hub users? Everywhere.
The map at the top of the story shows massive use in India, Iran, Russia and China, supporting Elbakyan’s view that researchers in developing or politically fractured countries — as was hers,  growing up in Kazakhstan — are hungry to tap into the world’s knowledge.
But the map below shows heavy use around the United States, too. Bohannon writes that a “quarter of the Sci-Hub requests for papers came from the 34 members of the Organization for Economic Co-operation and Development, the wealthiest nations with, supposedly, the best journal access. In fact, some of the most intense use of Sci-Hub appears to be happening on the campuses of U.S. and European universities.”

Is convenience the new access?
Maybe. That would explain why Sci-Hub users in the United States tend to congregate around universities, whose database systems are often clunky to operate and require security hoops when logging in off campus. Bohannon quoted a George Washington University student saying it was sometimes difficult to access journals his school subscribes to from Google Scholar, a tool viewed as the easiest way to surface relevant papers. But if he puts the paper’s title into Sci-Hub, he said, “It will just work.”
Another explanation is that universities don’t always have access to the journals researchers need. There are 28,100 journals publishing 2.5 million articles a year. Expenses for journals and other subscriptions have risen 456 percent since 1986, according to the Association of Research Libraries. Some universities have cut back on journal expenses.
“Full-scale modal wind turbine tests: comparing shaker excitation with wind excitation”
Most of the world’s reading population probably has doubts about whether they know what shaker excitation means, but that’s the title of the most widely downloaded article in the period Bohannon looked at, proving just how narrow — but important —  research is to scholars.
Other popular titles: “Comprehensive, Integrative Genomic Analysis of Diffuse Lower-Grade Gilomas,” “Photosensitive field emission study of SnS2 nanosheets,” “Griffiths effects and quantum critical points in dirty superconductors without spin-rotation invariance: One-dimensional examples,” and “Iron deficiency: new insights into diagnosis and treatment.”
Bohannon, with Elbakyan’s help, was even able to narrow down specific downloads to specific cities. “Someone in Benghazi,” he writes, “is investigating a method for transmitting data between computers across an air gap.”
The genie is out of the bottle
As I wrote last month: “Elsevier, the world’s largest journal publisher, sued Elbakyan in federal court in New York, alleging copyright infringement and computer fraud. A judge issued a preliminary injunction against Sci-Hub. Elbakyan simply switched domains, keeping the database available.”
But even if some government somewhere was able to shut down Sci-Hub, Elbakyan told Bohannon that the 50 million stolen papers have  already been copied many times, presumably stored somewhere on the dark web.
Elbakyan seems like she will do anything to keep the database growing. Bohannon wrote, “She even asked me to donate my own Science login and password — she was only half-joking.”


Friday 29 April 2016

Tentang menulis

KH-Ali-Mustafa-Yaqub

Sengaja memilih media buku?
Bagi saya, ilmu yang disebarkan melalui tulisan itu lebih awet dan lebih efektif. Memang kadang-kadang perkembangannya lambat, tapi pasti. Lain dengan ilmu yang disampaikan melalui ceramah, seketika kayak bom, tapi hilang setelah itu. Yang menarik bagi saya, kenapa saya punya keinginan yang tinggi untuk menulis? Ketika saya menulis tesis MA, saya mendapatkan referensi yang orangnya tidak terkenal sama sekali. ''Ini orang sudah meninggal 10 abad lalu, masih dibaca bukunya di perpustakaan.'' Kemudian ada syair yang menyebutkan, ''Karya tulis kekang sepanjang masa, sementara penulisnya hancur di bawah tanah. Ini berarti, orang punya buku meskipun sudah mati, itu mendapat 'kiriman' terus. Kenikmatannya seperti itu.
Sejak mahasiswa Anda sudah berniat menulis buku?
Justru ketika mahasiswa. Dulu saya belajar di Arab Saudi 9 tahun, S-1 dan S-2 di sana. Saya mencoba apakah tulisan saya dibaca orang atau tidak. Saya coba kirim dulu ke majalah Panji Masyarakat, 1977. Terus kirim ke Kiblat. Udah, setelah dimuat di Panji Masyarkat dimuat di Kiblat, saya tidak meneruskan menulis, tapi saya belajar dulu, biar lebih konsen. Tapi dengan dimuatnya tulisan saya itu, berarti tulisan saya sudah layak terbit. Itu jadi modal saya, saya kemudian belajar saja. Setelah selesai belajar, kemudian mulai menulis. Dan saya wariskan kepada santri-santri Darus-Sunnah, 'kamu jangan mati sebelum menulis buku'. Alhamdulillah sudah banyak yang menulis buku. Bahkan ada yang lebih banyak dari saya.
Anda senang?
Saya merasa bersyukur. Berarti, ibarat saya menanam, tumbuh subur. Bukan saya merasa disaingi, saya bersyukur.

Sumber : Pusat Data Republika




Sci-Hub.org is one of the main sites that circumvents this artificial barrier. Founded by Alexandra Elbakyan, a researcher born and graduated in Kazakhstan, its main goal is to provide the less privileged with access to science and knowledge.

“If Elsevier manages to shut down our projects or force them into the darknet, that will demonstrate an important idea: that the public does not have the right to knowledge. We have to win over Elsevier and other publishers and show that what these commercial companies are doing is fundamentally wrong.”
The idea that a commercial outfit can exploit the work of researchers, who themselves are often not paid for their contributions, and hide it from large parts of the academic world, is something she does not accept.
“Everyone should have access to knowledge regardless of their income or affiliation. And that’s absolutely legal. Also the idea that knowledge can be a private property of some commercial company sounds absolutely weird to me.”


http://en.bookfi.net/
in case sci-hub.io is blocked for you use sci-hub.bz or sci-hub.cc to access the website
http://libgen.io/
  1. Buka situs http://gen.lib.rus.ec/scimag/
  2. Masukkan doi di kolom pencarian pada situs tersebut, contoh doi adalah kode 10.1016/j.meatsci.2012.08.006 dari  http://dx.doi.org/10.1016/j.meatsci.2012.08.006 yang di dapatkan pada preview atau abstrak jurnal di sciencedirect. Untuk mendapatkan doi di sciencedirect, ikuti langkah berikut:
    1. buka sciencedirect.com
    2. masukkan jurnal yang dicari, misal tentang "Cinta", dan tekan Enter
    3. Setelah hasil pencarian terbuka, klik pada judul jurnal sehingga abstrak akan terlihat. 
    4. perhatikan sebelah kanan tampilan web tersebut, cari kode seperti kode doi di atas.
  3. setelah kode doi dimasukkan, tekan enter
  4. klik pada link (tulisan biru) seperti yang dilingkari di gambar berikut ini:

Tentang Partai

Oleh : Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Bharatia Janata Party (Partai Rakyat India) berdiri pada 1980. Partai ini memiliki hubungan ideologis dan organisasional dengan nasionalis Hindu Rashtriya Swamsevak Sangh (RSS) – RSS pernah dilarang setelah pembunuhan Mahatma Gandhi. BJP dikenal berhaluan kanan. Secara demografis, partai ini didirikan kaum miskin dari kelas strata rendah dalam hierakhi struktur masyarakat Hindu di India. Mereka disokong para pendeta garis keras Hindu. BJP merupakan antitesis terhadap Partai Kongres. Partai yang hampir selalu berkuasa di India. Partai Kongres identik dengan keluarga Jawaharlal Nehru, namun lebih dikenal dengan trah Gandhi – merujuk pada Indira Gandhi. Partai Kongres adalah partai kaum elite dan moderat di India. Konflik di India lebih banyak menghadapkan Muslim yang minoritas dengan Hindi yang mayoritas. Karena itu, BJP sering dicitrakan sebagai partai radikal yang anti-Muslim.
Pada 2014, untuk kali pertama BJP memenangkan pemilu secara signifikan di segala tingkatan. Narendra Modi (lahir 1950) yang memimpin partai itu terpilih sebagai perdana menteri. Modi berasal dari keluarga miskin. Ia pernah menjadi pedagang kaki lima. Ia mencari nafkah membantu orangtuanya hingga keliling negeri. Jalan menuju kursi perdana menteri pun sangat terjal. Ia lama ditelikung dengan isu kerusuhan 2002. Bermula dari serangan terhadap kereta api dan berujung pada pembantaian umat Islam di Gujarat, lebih dari seribu orang mati. Namun pada 2012, sebuah tim investigasi yang dibentuk Mahkamah Agung menyatakan Modi bersih dari tanggung jawab terhadap kerusuhan 2002. Padahal Amerika Serikat pernah menolak visa Modi pada 2005 karena pelanggaran kebebasan beragama. Dalam proses menuju pemilu, Modi mencium kaki veteran Muslim. Semacam simbol bahwa dia berdamai dengan umat Islam dan sekaligus menegaskan bahwa dirinya tak terkait dengan bencana 2002.
Kini, India justru sedang bersinar. Ekonomi India tumbuh cepat. Dan itu di bawah kepemimpinan Modi dan BJP. Kaum nasionalis garis keras diidentikkan dengan anti-bisnis dan alergi terhadap asing. Namun Modi membalikkan stigma secamam itu. Kebijakannya probisnis dan ia rajin berkeliling ke negeri-negeri lain untuk menjalin kerja sama dan investasi. Hubungan dengan tetangga yang selama in tegang diperbaiki: Nepal, Pakistan, Srilanka, Bangladesh.
Pembalikan stigma semacam itu juga dibuktikan oleh Lula da Silva. Ia menjadi presiden Brasil pada 2003 hingga 2011, menjabat selama dua periode. Pada 1980, di masa pemerintahan militer (1964-1984), ia mendirikan Partai Buruh. Brasil belum pernah benar-benar membangun diri. Politik Brasil jatuh bangun akibat ketidakstabilan. Militer Brasil selalu masuk dalam politik. Lula yang aktif dalam gerakan buruh kemudian mendirikan partai yang disokong cendekiawan dan akademisi. Lula adalah otodidak. Ia tak pernah menempuh pendidikan resmi. Hidupnya sangat miskin. Ia belajar baca-tulis di usia 10 tahun sambil menjadi tukang semir. Setelah itu ia bekerja di pabrik. Kehidupan buruh yang mengenaskan ia rasakan ketika satu jarinya celaka. Tak ada layanan dan jaminan kesehatan yang memadai untuk buruh. Ini yang membuat dirinya terjun di gerakan buruh dan kemudian mendirikan partai.
Brasil adalah jajahan Portugal. Namun berbeda dengan penjajahan di Afrika dan Asia, penjajahan di benua Amerika menghasilkan tragedi kemanusiaan yang dahsyat. Pada umumnya penduduk asli habis dan tersingkir, di Brasil hanya menyisakan kurang dari satu persen. Mayoritas adalah kulit putih, urutan berikutnya adalah blasteran.
Perjuangan membutuhkan kesabaran dalam mengelola partai, konsistensi di garis ideologi, dan ketekunan meniti jalan perjuangan. BJP membutuhkan waktu 34 tahun untuk bisa berkuasa dengan mandat yang cukup. Partai Buruh membutuhkan 23 tahun untuk menguasai Brasil. Mereka tak tergoda dalam jebakan dana kaum elite. Mereka juga bisa belajar dari kesalahan. Situasi di India mungkin lebih dekat dan memiliki banyak kesamaan isu dengan kondisi di Indonesia. Namun hakikatnya, semua negeri besar ini berjuang untuk maju setelah lama dijajah.
Struktur masyarakat negeri terjajah selalu menghasilkan lapisan sangat tipis kaum elite. Mereka sengaja ditempatkan kolonialis untuk menjadi agen bagi berlangsungnya sistem kolonialis. Jumlah mereka sangat terbatas, menempati posisi yang diizinkan saja dalam pemerintahan dan perusahaan, lebih banyak sekolah tukang dan sangat sedikit yang bisa sekolah tinggi. Namun demikian, di antara mereka ini justru yang kemudian memanfaatkan kepandaiannya untuk memerdekakan negerinya. Mereka bergabung bersama rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Tentu saja sebagian besar lagi tetap menjadi antek penjajah. Namun arus zaman Perang Dunia II membentuk tatanan dunia baru dan menempatkan Amerika Serikat sebagai penguasa dunia yang baru. Poros semula di Eropa kemudian bergeser ke benua Amerika. Hal ini menyengat negeri-negeri terjajah untuk merdeka. Bahkan dalam sejumlah hal Indonesia mencontek Amerika Serikat.
Sebagai masyarakat terjajah, jurang antara elite dan rakyat kebanyakan demikian lebar. Umumnya rakyat tak terdidik, miskin, dan lemah dalam kemampuan mengorganisasi diri serta kelembagaan. Karena itu, sejak kemerdekaan hingga kini, di Indonesia belum ada partai yang benar-benar berasal dari kalangan rakyat kebanyakan seperti BJP di India atau Partai Buruh di Brasil. India beruntung karena sistem demokrasi negeri itu tak pernah mengalami jeda. Brasil, kendati militer kerap masuk politik, namun sudah lebih lama menganut sistem republik – sejak 1889. Pada sisi lain, walau itu negeri jajahan namun masyarakatnya sudah sama dengan negeri penjajahnya, seperti halnya Amerika Serikat. Karena itu, pada tahun yang sama mereka telah memiliki partai rakyat. Dilmar Roussef, pengganti Lula, adalah wanita pertama yang menjadi presiden Brasil yang mantan gerilyawan di masa junta militer.
Di Indonesia belum pernah ada partai yang benar-benar merupakan partai rakyat. Dari sisi ideologi, pendanaan, program perjuangan, dan para pengendali partainya. Semuanya adalah partai kaum elite. Mungkin kita bisa berdiskusi soal PKI dalam isu ini. Namun partai rakyat tak harus komunisme, sebagaimana komunisme tak selalu berarti partai rakyat. Seperti BJP dan Partai Buruh, keduanya bukanlah partai komunis.
Saat ini tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia mulai membaik. Mereka juga mulai sadar tentang pentingnya berorganisasi. Pada sisi lain, kaum elite dan pemodal makin kuat akibat konsolidasi yang konsisten dan membesarnya skala ekonomi Indonesia. Jika dua arah dari dua lapis masyarakat Indonesia tak segera dicarikan titik temunya maka Indonesia bisa terjebak pada tiga kemungkinan. Pertama, konflik sosial. Kedua, politik dinasti. Ketiga, plutokrasi dan kleptokrasi yang tumbuh bersamaan. Tiga-tiganya tak akan membawa kemajuan bagi Indonesia. Karena itu, lahirnya partai rakyat yang bersifat indigenous merupakan tugas sejarah dan misi suci untuk menyelamatkan Indonesia. Partai rakyat harus mencerminkan dan memiliki basis sosial kuat.
Partai rakyat bukan hanya yang didukung rakyat, tapi partai yang memiliki ideologi kerakyatan dan program perjuangan untuk pemerataan kesejahteraan rakyat. Partai rakyat bukan sekadar partai yang memiliki semua itu, tapi juga partai yang memang dikendalikan rakyat kebanyakan. Rakyat kebanyakan tak hanya memegang posisi-posisi kunci dan utama dalam mengelola partai tapi juga bisa menggali dana dari rakyat itu sendiri.
Saat ini ada partai yang memiliki jargon kerakyatan. Ada juga yang didukung rakyat kebanyakan. Namun rakyat hanya menjadi klien dari patron kaum elite. Rakyat hanya subordinat. Ada pula partai yang pengelolanya rakyat kebanyakan namun ideologi dan program perjuangan sama sekali jauh dari kenyataan itu, juga tak bersifat indigenous.
Partai rakyat tak mesti berasal dari partai baru. Partai yang ada, yang sejatinya dikelola oleh orang-orang yang berasal dari rakyat kebanyakan, bisa melakukan revolusi untuk menjadi partai rakyat. Partai yang dikelola oleh elite sangat sulit untuk menjadi partai rakyat. Apalagi jika elite itu merupakan elite yang sudah turun temurun. Mereka sudah terlilit dan terjalin terlalu dalam dengan kaum yang tak mau berbagi kue ekonomi. Redistribusi ekonomi itu selalu harus dipaksa. Musuh redistribusi ekonomi adalah sikap rakus dan rakus tak pernah mengenal batas. Hanya melalui redistribusi ekonomi kesejahteraan bersama dan keadilan sosial bisa tercapai. Rakus adalah musuh utama Indonesia saat.

Monday 25 April 2016

Tentang Hidup Bangsa

Masa depan adalah milik negara yang penduduknya :
Produktif,
Efisien,
Menguasai teknologi dan
Berada dalam Iman-Taqwa

Friday 15 April 2016

Tentang Merasa

Menarik menseksamai apa yang dikatakan Jurgen Klopp setelah timnya, Liverpool mengalahkan Dortmund di Piala Europa 2016:

"Ketika kami mencetak gol semua orang bisa melihat sesuatu yang terjadi di stadion. Saya bisa merasakannya, bisa menciumnya. Sangat sering dalam dunia sepakbola bahwa pertandingannya sudah berakhir, tapi tidak di sini. Tidak dengan tim Liverpool. Rasanya hebat bisa menjadi bagian darinya," lanjut Klopp.

"Saya tahu ini adalah sebuah tempat untuk momen-momen besar sepakbola. Kami tidak memulai kisah ini tapi tahu tanggung jawab kami untuk menuliskan beberapa kisah dalam sepakbola," imbuh dia.

"Ketika kami memasukkan Daniel Sturridge dan Joe Allen, kami memberikan mereka pesan 'kami harus menunjukkan karakter'. Saya tak peduli kalau kami akhirnya kalah, kami harus menunjukkan mereka karakter kami dan bahkan malah melakukan lebih."

Merasakan diri tidak lebih besar dari klub adalah kesadaran tertinggi seorang petarung kebenaran.

Tidak peduli hasil apapun yang diperoleh, memberikan yang terbaik dalam setiap episodenya, akan ternilai yang terbaik pula oleh yang di langit dan di bumi.


Tentang Cita

Anak saya yang berumur 6 tahun sudah menyatakan cita-citanya,  dia ingin menjadi anggota pemadam kebakaran (Damkar). Kami sebagai orang tua terus terang harus berkerut wajah untuk berpikir dan menebak alasan apa yang melatar belakanginya.

Profesi yang anti mainstream bagi anak seusianya, karena biasanya anak-anak mencitakan sebagai dokter, tentara, atau guru. Menarik, saat kemudian dia bilang, "Enaknya jadi Damkar, kerjanya santai, bisa santai-santai dapat uang". Sejurus kemudian saya timpali,"Dik, kalau setiap hari ada kebakaran, kamu tidak akan bisa santai lho, harus bertaruh nyawa setiap hari, sedang gajinmu hanya 3 jt perbulan". Tidak terpengaruh respon saya, dia tetap tersenyum. Saya katakan padanya, "Jika engkau menjadi walikota, atau presiden, maka adik akan menjadi pimpinan seluruh Damkar yang ada di negeri ini".

Terhadap cita dari anak, apapun itu, saya hanya bisa berdoa semoga menjadi amal sholeh nan barokah. Tidak ada yang salah dengan pilihan mereka, akan salah jika pilihan saya atau dia tidak berbuah amal sholeh dan ampunan Allah.