Wednesday 13 November 2013

Tentang Laku dahului Tutur

Tentang Laku dahului Tutur :

Marilah untuk sejenak kita bertamasya dan beraduk ikutan dengan penggalan hikmah Laku dahului tutur berikut...

Pagi itu, selepas lenggang subuh di sebuah masjid kampus yang telah sepi, keluarlah seorang anak muda. Tanpa sepengetahuannya, dibelakangnya ada sosok lain yang mengikutinya keluar dari masjid dan terus memperhatikan anak muda tersebut. Seorang bapak yang umurnya beberapa tahun diatasnya. Bapak ini pada detik berikutnya terpaku dalam diam saat menyaksikan pemuda didepannya mulai punguti dan memasukkan ke kotak sampah, satu persatu plastik-plastik bekas bungkus ta’jil maupun botol-botol minuman yang berserakan di halaman masjid itu. Selesai satu jengkal, dia telisik lagi jengkal lain disekitar halaman masjid kampus itu. Mata pemuda itu, seakaan mata elang diangkasa yang mencari mangsa di setiap ceruk dari perbukitan yang dilintasinya..Pemuda itu seakan begitu khawatir jika masjid itu masih terhias oleh serakan sampah.
Bapak dibelakangnya, dalam beberapa detik mengalami kebingungan yang sangat, saat tanpa dia sadar dengan sepenuhnya, tangannya terjulur juga mengikuti apa yang dilakukan pemuda didepannya. Dia juga punguti plastik dan sampah yang terdekat dari tempat berdirinya. Setelah beberapa menit berlalu, akal sehatnya mulai bekerja dengan normal kembali, dan dia cerna sebisa mungkin kejadian didepannya, mulai saat itu tertanam azam yang kuat bahwa sepanjang hidupnya, sebisanya, dia akan punguti plastik atau botol yang tersapu matanya dan terlewati langkah kakinya.
Ternyata tindakan tanpa kata-katapun dapat mempengaruhi orang lain dengan dahsyat.
…......................

Ada kebiasaan yang sebisa mungkin dijaga dan dilakukan oleh seorang bapak begitu dia lewati pintu depan rumahnya, sepulangnya dari sholat fardhu. Membuka mushaf Al Quran, kemudian membacanya, dan menghafal atau mengulangi hafalan… yang bahasa sononya muroja’ah. Kesemuanya dia niatkan untuk Allah dan sangat berharap tersebab karenanya Allah limpahkan kasih sayangNya untuk dua hal: Orang tuanya nanti bermahkota dan berjubah indah di kehidupan berikutnya dan yang kedua, menjadi ikutan anak keturunannya untuk cintai Al Quran. Apapun suasana rumahnya..sepi dan tiada yang melihat, saat anak-anaknya masih lelap. Maupun gaduh, saat anak-anaknya “sibuk” berlari sana sini, kebiasaan datang dan membuka mushaf Al Quran itu sekuat mungkin dia jaga. Menariknya hanya di satu waktu saja dia berkata-kata untuk mengajak anak-anaknya mengaji…yaitu selepas sholat maghrib, dilain waktunya dia hanya berkeyakinan bahwa hati dan ruh anak-anaknya tetap mendengarkan dan simaki lantunan ayat ayat Al Quran walau mata mereka terpejam.
Hari demi hari berlalu, anak-anaknyapun bertumbuh dan dia mulai merasakan rahmat Allah yang menerus terlimpah kepada keluarganya. Bukan harta benda yang bertambah di rumahnya, bukan rekening tabungan yang digitnya bertambah panjang, juga bukan mobil yang bertambah bilangannya yang dia rasakan sebagai rahmat Allah padanya. Akan tetapi rahmat Allah itu sangat terasakan olehnya justru saat anak-anaknya merapal hafalan Al Quran di dalam kendaraannya menuju sekolah di pagi hari. Dia simaki dan nikmati setiap bacaannya, yang baginya adalah rahmat Allah yang terlimpah, yang menderas melunakkan dan menghibur hatinya. Ya..bukan lagu yang populer di tv atau radio yang menjadi senandung anak-anaknya, tetapi ayat ayat suci Al Quran.
Dan sampailah dia pada satu waktu, saat terbaring sakit disalah satu kamar rumahnya, terdengar lembut mengalun dari arah kamar tamunya, muroja’ah surah Ar Rahman dari salah seorang putranya. Lantunan ayat demi ayat, bagai hembusan sejuk bergelombang datang basuh batinnya, kalahkan segala rasa sakit yang mendera jasad..Terngiang-ngiang arti salah satu ayatnya yang berulang: Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
………………..

Pelajaran hidup berikut ini sedikit berbeda daripada dua kisah diatas yang insya Allah akan mengajak kita naik ke jenjang yang lebih tinggi untuk memaknai laku yang mendahului tindakan.. Anak anak pada umumnya sangat menyukai gula-gula. Dan menjadi kelaziman bahwa orang tua mereka adalah pintu gerbang perizinan masuknya anak-anak ke dunia gula-gula tersebut. Katakanlah jika sehari makan satu dua biji itu masih dalam kewajaran, dan beberapa orang tua bahkan membatasi anak-anaknya untuk tidak setiap hari makan gula-gula dengan alasan utama adalah tidak baik untuk kesehatan gigi. Selanjutnya, mari kita menuju satu pulau di Jawa Timur, yaitu Madura untuk mengambil hikmah dari perjuangan seorang bapak yang mempunyai putra pecinta gula-gula yang sangat. Bapak ini sangat cemas melihat keseharian anaknya yang doyan banget makan gula-gula. Tidak hanya kesehatan gigi yang dia khawatirkan, lebih dari itu adalah kesehatan anaknya. Berbagai upaya yang dia lakukan untuk menghentikan kebiasaan mulut penuh gula-gula anak semata wayangnya namun belum juga ada yang mujarab. Sampai kemudian bapak itu mengajak anaknya untuk bersilahturahim ke seorang Kyai karismatik di Bangkalan. Setelah beruluk salam, sang kyai membimbing tamunya masuk rumah, dan si bapakpun menceritakan ikhwal ketagihan gula-gula pada anaknya. Kemudian sambil tersenyum Kyai tersebut berkata ke si anak, “Kamu jangan makan gula-gula ya!”
“Ya mbah”, jawab si anak dengan hormat.
Setelah hajat tersampaikan maka bapak anak tersebut pamitan dan pulang ke rumah. Hari-hari berlalu sang bapak sangat bersyukur karena anaknya sudah tidak lagi minta gula-gula, walaupun begitu kekhawatiran bapak ternyata masih ada juga. Anaknya kini menjadi pembenci semua makanan yang mengandung gula, tidak hanya gula-gula! Anaknya sekarang tidak mau makan atau minum semua yang mengandung unsur gula. Bisa ditebak, langkah berikutnya yang diambil adalah sowan lagi ke mbah Kyai bersama si anak. Kyai tersebut kemudian berkata singkat lagi, “Kamu makan gula sedang-sedang saja!”. “Ya mbah”, sambil si anak mengangguk. Saat akan pamitan pulang, si bapak penasaran sekali kenapa kata-kata mbah Kyai begitu dituruti oleh anaknya. Kita pasti akan punya jawaban beragam jika pertanyaan bapak itu tertuju pada kita. Yang paling umum karena beliau Kyai, menjaga diri maksiyat, dan dekat dengan Allah sehingga doanya akan lebih mudah diijabah oleh Allah..berbeda mungkin dengan si bapak. Ya, mungkin itu adalah salah satu musababnya, namun menarik perkataan mbah Kyai berikutnya…
“Waktu saya bilang sama anakmu, “Jangan makan gula-gula ya”, sejak saat itu saya tidak makan gula!”
Allah karim… ternyata mbah Kyai punya maksud juga untuk mendidik si Bapak, agar melakukan laku mendahului kata. Dari sini kita juga mendapat hikmah, bagaimana laku pengorbanan yang dilakukan mbah Kyai kepada orang lain yang bukan apa-apanya, bukan anggota keluarganya, apalagi anaknya. Mbah kyai lakukan untuk orang lain yang tidak dikenalnya. Maka kita dikenalkan pengorbanan yang lebih tinggi lagi tingkatannya…
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami ialah Allah' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu."
(QS As-Sajdah (41) ayat 30)

Jazakallah ust. Jonih Rahmat telah berbagi kisah tentang Mbah Kyai. Selamat mengikuti workshop menulis untuk sahabat Kamil Pascasarjana Itb, semoga ilmunya barokah dan menjadi karya sesudahnya..

Sunday 21 July 2013

Tentang Kuliah dan Hafalan Al Quran

Kereeen..lulus S2 bertambah pula hafalan Al Qurannya....

Beberapa minggu yang lalu ada selip bahagia berwarna lain, diantara ragam kabar bahagia tentang kelulusan ujian ke-2 dari beberapa sahabat. Selip bahagia 1: Terasakan indah sejuk hijau saat simak lantunan surat terakhir di juz 29 berhasil dituntaskan. Masih segar dalam ingatan ketika memulai dengan Al Mulk, dua tahun yang lalu. Sebentuk azzam hadir tuk membersamai waktu-waktu yang terlalui selama studi dengan hafalan yang juga terus menambah. Termaklumi bahwa 1 Juz selama dua tahun bukanlah jumlah yang banyak bagi sebagian orang. Namun teruntuk yang tinggal di lingkungan kost dengan beragamnya teman beserta macam kegaduhannya, ditambahi beragam aktivitas kuliah maupun organisasi, maka yang tertatih-tatih berusaha setor di tiap mingguannya adalah capaian juga. Beberapa hari setelah itu menyusul bahagia kedua: Bincang hangat di senja hari saat tujui Salman bersama seorang sahabat Kamil, dapati kabar bahwa beliau telah masuk ke hafalan juz 1. Dan..ingatan ini kembali menerawang sang waktu tatkala kurang dari 1 tahun yang lalu beliau memulai hafalan dengan juz 30, disusuli juz 29 dan 28. Ya, setelah belum genap 1 tahun, diantara padatnya kuliah dan tugas, beliau sudah memasuki juz keempat yang dihafal, Masya Allah…

Sahabat, sungguh ingin kita menjadi seperti mereka. Ada nilai lebih yang kan kita bawa sepulang menyelesaikan studi-studi kita. Ada lebih dari ilmu dan ijazah yang bisa kita hadiahkan bagi orang-orang yang kita cintai. Dan yang paling utama ridho Allah Azza wa Jalla untuk kemudian menjadi keluarga Allah di akhirat. Yang mana akan naik dan terus naik ke surga sampai kemudian berhenti di tingkat tertinggi di ayat terakhir yang dibacanya. Yang dapat memberikan hak syafaat kepada 10 anggota keluarganya. Yang padanya dipakaikan pakaian dan mahkota kehormatan. Juga pada kedua orang tuanya teranugerahkan pakaian kehormatan, yang karenanya terbersit tanya dari mereka, “Kenapa kami di beri dengan pakaian begini?”. Kemudian di jawab, “Kerana anakmu hafal Al Quran.”

Sahabat, sungguh rasa sayang kita dengan Ramadhan ini tiada terbantahkan, kesyukuran kita dipertemukan Allah dengan Ramadhan ini tak terbilangkan. Akhirnya, Akankah bertambahnya ayat-ayat Al Quran dalam hafalan kita bisa menjadi bukti wujud rasa syukur atas nikmat Rabb semesta alam tersebut?

Ijinkan ditutup dengan dialog imajiner dalam suatu angan berikut: 10 tahun sejak kelulusannya dari kampus ITB, seorang bapak bersama anaknya berjalan susuri kampus ditimpali dialog-dialog ringan yang muncul. “Nak di kampus ini bapakmu dulu menyelesaikan hafalan Al Quran juz 29”, kata sang bapak. Bukannya bapak dulu disini sekolah S2?” telisik sang anak. “Iya nak, bapakmu dulu juga belajar disini, tapi adalah juz 29 tersebut yang paling membahagiakan batin bapak, selain juga ilmu dan kelulusan. Karena sejak itu, Alhamdulillah bapak jadi bersemangat menghafal sampai tuntas 30 juz,” jawab sang bapak.

Bagi sahabat Kamil semua, semoga barokah segala niatan dan ikhtiyar hafalannya. Dari yang sedikit, namun terus bertambah kebaikannya, baik dalam kesempitan maupun kelapangan, terjaga istiqomah, tertuntaskan 30 Juz baik dalam laku, ruh, dan pikiran sampai akhir hayat. Amin ya robbal ‘alamin

Wednesday 5 June 2013

Tentang Merawati Cara Berkata-kata:



Tentang Merawati Cara Berkata-kata:
Merawati cara berkata-kata adalah suatu kegiatan yang harus diagendakan. Dalam lingkungan terkecil berupa keluarga, bisa jadi adalah tempat terbaik untuk berlatih merawati cara berkata-kata. Terus terang saya sendiri sedang sangat menikmati "rasa" berkata-kata ini di keluarga, apalagi jika sudah mulai mendengar anak-anak merespon dengan full passion bahasan-bahasan seputar sekolah, teman-temannya, atau kegiatan kesehariannya.

Sampai kemudian terbersit tanya, akankah 10 tahun kedepan masih seseru inikah orang tua akan berkata-kata dengan anaknya? Kira-kira kalau anak juga boleh menerawang 10 tahun lagi, pertanyaan anakpun akan sama. Apakah 10 tahun lagi akan seseru ini ngobrol dengan ortunya? Dikembangkan lagi, pertanyaan yang sama juga bagi yang sudah berpasangan, akankah 10 tahun lagi berkata-katanya masih seseru seperti di 3 tahun pertama perkawinan? Apakah semakin berkurang umur disemua pihak akan semakin banyak diamnya alias sedikit berkata-kata, tergantikan semakin banyak bahasa tubuh, bahasa simbol sebagai alat komunikasi? Sekedar jawaban singkat, ketus, anggukan, gelengan, atau dengusan? Antara anak dengan ortunya, antara suami dengan istri? Sedangkan jika yang tersebut itu berada di luar rumah dengan pihak lain, bisa begitu deras, riuh, dan betah untuk berkata-kata..#Bagi saya, baru membayangkan saja sudah merasa begitu mengerikannya#.

Kalau di luar rumah begitu riuh, maka hilangnya minat berkata-kata dalam sebuah keluarga (atau dalam suatu hubungan apapun) ternyata belum tentu karena tak ada lagi kata, tetapi lebih karena hilangnya ketertarikan untuk berkata-kata. Kata seorang pakar budaya, maupun guru saya, Ketertarikan itu meredup dan kemudian hilang karena “seni” berkata-kata yang tidak terawat. Berkata-kata tidak hanya berbuah pernyataan. Kapan ortu harus sudah mulai mengurangi berkata-kata, dengan lebih banyak mendengar dan memberi peragaan keteladanan bagi anaknya..itu adalah juga seni berkata-kata.
Bayangan mengerikan rumah yang miskin kata-kata inilah yang membuat saya terpikir nasehat guru saya, tentang pentingnya terus menerus merawati cara berkata-kata. Dan cara terbaiknya ternyata dengan merawati hati. Katanya hati yang terawat dengan siraman, pupuk dan cahaya iman, maka dengan sendirinya akan membaikkan apa yang disekitarnya.

Guru saya berikutnya menyederhanakan bahasannya dengan berkata, “Kalau mulut ini secara ideologis hanyalah pasukan dari hati. Jadi ini pasti bukan hanya soal seni berbicara; ini soal suasana hati yang jika terus diperbaiki, maka kata-kata akan meramai dengan sendirinya”. Ini sudah hukum alam, berlaku pada setiap hubungan, anak-ortu, murid-guru, yang dibina dan yang membina, pegawai-atasan, rakyat-pemimpin. Jadi, merawati cara berkata-kata berkorelasi kuat dengan cara merawati iman di hati. Begitulah yang kita semua bisa maknai dari jejak rekam yang diteladankan baginda Rasulullah Sallallahu Alayhi Wasallam, baik sebagai pedagang, suami, ayah, kakek, panglima perang, pemimpin negara, maupun pemimpin umat.

Sebagai penutup tentang berkata-kata :

Di atas sepeda motor roda dua, dalam perjalanan pulang dari sebuah Taman Kanak-Kanak,
“Bermain apa tadi di sekolah nak?” tanya sang ayah. “Bermain ayunan, pasir, menggambar dan bernyanyi…oh iya aku dapat lagu baru Bi!” jawab si anak. Terbayang punya bahan menarik untuk dibahas, maka ayahnyapun menyusuli dengan antusias, “Oh ya? Ayo nyanyi dong…”.
“Emm…nanti aja kalau sudah sampai rumah” tak kalah cerdik si anak 3,5 tahun itu berkelit dari tantangan ayahnya.
Singkat cerita, sesampainya mereka dirumah,
Sang ayah menagih janji sang anak, “Ayo katanya mau nyanyi lagu baru, mana hayo?”
Si anak kemudian sambil senyum-senyum bilang, “emmm…apa ya..hmm..apa ya”
Menyadari kalau dikerjain si anak, dan baru ingat kalau si anak memang belum punya catatan sejarah kalo bisa bernyanyi, maka sambil menahan gemasnya sang ayah berkata, “Yeee adik! bilang saja kalau dari tadi tidak hafal lagunya, pakai alasan aja…Abi doain jadi imam masjidil haram baru tau rasa ya..”





Saturday 1 June 2013

Tentang bertanya

Tentang bertanya:

Bertanya bagi anak sepertinya adalah bagian serius dari kehidupan mereka....

"Bi, kenapa tentara-tentara itu hanya latihan berperang"? tanya si sulung saat kami berada tepat dibelakang sebuah truk militer dalam suatu perjalanan sore.
"Karena mereka tidak punya musuh yang harus diperangi, jadi biar mereka tetap lincah kalau nanti perang betulan, maka mereka harus tetap berlatih", Jawab saya sambil kosentrasi menjaga jarak dengan sang truk.
"Kenapa mereka tidak ke Palestina? Disana kan mereka bisa berperang membantu palestina" tanyanya lagi.
"Karena nanti Amerika akan membantu Israel, dan karenanya Papua bisa merdeka seperti Timor-timur dahulu. Negara kita belum berani untuk itu", jawab saya. Obrolan kamipun menjadi panjang, dan mau tidak mau beririsan dengan pemahaman Al Haq wa Al Bathil. "Boleh tidak Bi, anaknya Presiden yang memerintahkan berperang kepada tentara?"..."Jadilah Presiden nak, karena kalau kamu "cuma" anak presiden tetap saja tidak boleh memerintahkan berperang". Doa itupun meluncur.

Bertanya bagi anak sepertinya adalah bagian serius dari kehidupan mereka yang sering disalah artikan oleh orang dewasa ataupun bahkan oleh orang tuanya sendiri. Disalah artikan bisa jadi berupa pengabaian, bisa berupa ketidak acuhan dengan tidak memandang muka  dan bertatap mata dengan sang penanya, bahkan bisa berupa juga hardikan keras. Yang seperti itu biasanya bertujuan agar si anak tidak bertanya-tanya lagi, karena riuhnya pertanyaan berarti gangguan bagi orang orang-orang dewasa itu.

Bertanya bagi anak sepertinya juga adalah bagian sebuah permainan yang mereka lakoni dengan serius yang juga sering disalah artikan oleh orang dewasa ataupun bahkan oleh orang tuanya sendiri. Disalah artikan bisa jadi berupa keluarnya jawaban-jawaban asal tanpa dipikir alias asbun (asal bunyi) dengan mimik muka serius dari orang dewasa ataupun bahkan oleh orang tuanya sendiri. Yang demikian ini biasanya si ortu sedang punya masalah lain yang sedang dipikirkan dan momennya tepat bersamaan dengan si kecil yang bertanya. Bisa jadi yang dipikirkan pun hanya sebuah gosip yang barusan dibaca di koran yang masih digenggam, ataupun kabar tidak jelas dari portal news yang terbaca di layar ipad, BB, HP, dll.

Si anak mungkin masih belum tahu cara menginterupsi "kesibukan" ortunya jika hendak bertanya, mereka hanya tahu bahwa sedang terpikir tanya, maka simple saja..langsung bertanya. Si anakpun bisa jadi belum mengerti apakah ada persolaaan lain yang lebih besar daripada persoalan yang sedang dia tanyakan.

Sepengetahuan saya, ternyata pertanyaan anak-anak punya bobot yang bermacam-macam. Dan bobot yang bermacam-macam itu akan sangat berbahaya jika tidak diseriusin. Ya berbahaya karena bisa menyangkut keberlangsungan harmoni dan kedamaian di dalam keluarga, juga kerukunan dengan tetangga, lebih luas lagi keberlangsungan bangsa dan negara ini, bertambah tinggi lagi hubungan antar negara di dunia ini. So..jawaban-jawaban kita pada mereka akan menentukan apakah negara kita nanti yang akan diwarnai oleh orang-orang asing, ataukah anak-anak kita yang nanti akan mewarnai negara-negara asing itu dengan izzah dan kearifan yang kita wariskan.

Atau jangan-jangan kita tidak pernah bercita yang tinggi untuk anak-anak kita????..bercita bahwa mereka yang akan mewarnai dunia ini

Maafkan ibu dan bapakmu nak..doakan kami yang banyak..yang banyak

Saturday 4 May 2013

Turun Mesin

Tentang turun mesin:

Sebagai mahasiswa, terlalu bersemangat sekali dengan kerja marathon dan lembur, menyongsong pekerjaan yang datang terkadang akan membahagiakan, dan terkadang akan menyengsarakan. Bahagia karena itu bermotif masa depan kelulusan. Menyengsarakan jika tidak bisa menakar daya tubuh yang menyokongnya. Pengalaman saya contohnya.

Sudah satu minggu ini sinyal-sinyal keringkihan badan ini menanggung beban kerjaan sudah mulai berdatangan.Dari satu titik kecil di bibir, ternyata semakin hari semakin bertambah melebar. Kesalahan sayalah yang mengabaikan isyarat tubuh, sehingga di hari ketujuh itu sensasi sakit di bibir sudah luar biasa. Buat berwudlu perihnya minta ampun, buat makanpun hilang sudah rasa para lauk pauk itu di dalam mulut. Disaat puncak sakit itu kembali kesadaran diri mulai mengumpul satu persatu. Apakah ini karena kurang vitamin C? Maka gelontoran tablet hisab vitamin C mulai masuk raga, ditambah satu dua gelas jus jambu merah setia menemani saat makan siang. Ditunggu dua tiga hari, ternyata masih juga belum mereda juga. Sampai akhirnya muncul ide untuk “turun mesin” dulu seharian (benar benar mengistirahatkan sang tubuh), mungkin akan ada hasilnya.

Sehari kemudian, saya benar-benar menjalankan ide tersebut. Ambil dan baca satu dua buku dari guru-guru saya, menikmati aliran indah pilihan kata-kata mereka, hanyutkan diri dalam arus pola pikir mereka, nikmati saja perjalanannya dibawa berkelok, naik, turun, berdebar, bersemangat, merenung, sampai menangis..nikmat sekali (hehe..seandainya baca jurnal senikmat ini, dengan sebaris rumus mampu bertutur dengan jujur, semoga sampai juga nanti pada waktunya). Hari turun mesin itu masih berlanjut, dengan jalan-jalan datangi pameran buku, cari-cari buku yang memang selama ini sudah diburu namun tidak ada di toko buku, dan mungkin karena Allah juga, malah bisa ketemu dengan beberapa buku itu, hehe..walau artinya di beberapa hari kedepan harus mengencangkan ikat pinggang agar survive sampai bulan depan...benar-benar seharian tidak berfikir dan bekerja sebagaimana mustinya seorang mahasiswa...ini arti turun mesin sesungguhnya untuk diri saya.

Keesokan harinya keajaiban itupun datang, saat berkumur rasa perih yang mendera ternyata sudah sangat jauh berkurang daya sengatnya. Walau terlihat di kaca masih ada lingkaran besar, sumber kesakitan selama ini, namun kini terlihat telah berubah warna mendekati warna kesembuhan. Alhamdulillah. Satu hal yang pantas disyukuri atas sakit ini, bahwa Allah sangat bertahap memberikan sakit, peka atau tidaknya saya yang akan menentukan hasil akhir dari sinyal Allah tersebut. Apakah akan semakin parah, ataukah menjadi sembuh dengan ikhtiyar sedini mungkin.
Sibuk memikirkan dan mengerjakan proyek masa depan, terkadang menjadikan hal-hal di sekitarnya, di masa kini, di saat ini, menjadi terabaikan. Padahal hal-hal yang menyekitari itu, yang terjadi di hari ini kalau sukses dilewati akan menjadi salah satu penentu keberasaan atas sukses yang teraih di masa depan. Itupun kalau dianggap sukses, karena boleh jadi capaian dimasa depan itu akan tiba-tiba hambar saat kesalahan-kesalahan di masa lalunya tidak tertebus lagi pada saatnya.

Saat anak-anak butuh orang tuanya dimasa bertumbuhnya namun saat itu orang tua abai bahkan menghardik dengan alasan kesibukan untuk keberjayaan masa depan keluarga. Ketika tiba saatnya orang tua ingin merayakan atas nama keberjayaan keluarga, ternyata anak-anak sudah abai terhadap orang tuanya. Kalaupun anak2 tidak abai, ternyata kekalahan kita karena hilang dan berlalunya sang waktu dalam membersamai pertumbuhan mereka. Diwaktu anak-anak sedang lucu-lucunya, diwaktu anak-anak sedang hobi bercanda riang, diwaktu anak-anak minta perhatian, diwaktu anak-anak minta dibantu bikin PR, diwaktu anak-anak gemar bercerita tentang kejadian seharian disekolahnya. Itulah waktu anak-anak minta jiwa dan hati orang tuanya tuk membersamainya, dan itu tidak dapat diminta kembali. Tentu saja tidak membabi buta menjadi anak sentris, namun kesemuanya ada takarannya, dan anakpun paham hal itu.
Yang juga banyak ditemui..Sesal saat dipuncak karier atau bahkan sebelum mencapai puncak ternyata kesehatan sudah menurun drastis, makan serba dibatasi, belum biaya berobatnya, kembali lagi karena abai tentang hak tubuh di waktu muda dan sehat. Bisa jadi keberhasilan disatu sisi terkait rencana yang telah terprogram di masa lalu, mengandung cacat karena membawa kekalahan di sisi lainnya.

Apa yang melekat dan ada disekitar kita di hari ini yang seyogyanya juga kita perhatikan dengan setulus perasaan dan sebaik amal perbuatan. Harapannya nanti di depan sana, pada waktunya, tidak akan kita sesali. Teringat sabdaNya, hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.

Friday 3 May 2013

Mata itu

Tentang hari ini:

Mata itu,

Belum ada jenis mata sekualitas itu...

dalam sedalam palung terdalam dalam luas samudera...terlalu tenang,Teduh, Bahkan wujudnya arus besar nan kuat di dasarnya seperti tdak mengubah apapun bentuk dipermukaannya, Andai kan datang badaipun hanya akan buat riak kecil saja, Bahkan itupun masih jauh dari batas tepi samuderanya. dan riak itu akhirnya hilang karena waktu dan jarak jualah. 
nyatalah, Badai sebesar apapun takkan sanggup mengaduknya, Tertekuk saja, Didepan luas dan teduhmu. terserap apa saja dalam keteduhanmu. 
mata itu, Juga diam dan membasah..sebentuk samudera dalam wujud mata, Luas dan dalam adalah karuniaNya. 
siapapun dalam tatapnya, Walau tak ada sedetikpun telah terjumpa, Terasakan sebagai orang yang telah lama ia tunggu. bukan sebagai orang asing, Tapi sebagai orang yang telah dikenalnya.

Mata itu, 
Belum ada jenis mata sekualitas itu...

(Jumat, 3 Mei 2013, Jazakallah khoyr kepada semua guruku)

Saturday 20 April 2013

Tentang Kebutuhan

Tentang Kebutuhan :

Lantun puja dan puji pada Rabb, bersama terbuka pagi. Pandangi halimun yang sempurnakan samar wujud deret pegunungan, Silakan dingin tuk berlomba rasuki kamar, kan-kurasakan sempurna nikmatNya disetiap hirupan yang terbawa..ah... tak habis syukur dipertemukanNya kebutuhan diri akan hirup segar napas ini, bersama segala penyertanya yg tak terkira dalam indah pandang pagi.

Coba berbagi dengan renungi penggalan sejarah yang tunjuki dipertemukannya antara kebutuhan dengan diri yang membawa niat bening nan bersih.

Pemuda sederhana itu bernama Ali bin Abu Thalib, terkenal miskin papa, dan saking miskinnya, hampir-hampir tidak ada lagi barang yang dikenali adalah miliknya, sehingga calon mertuanyapun harus mengingatkan bahwa dia masih memiliki baju besi seharga 4 dirham pemberiannya. Tersebab tiada memiliki suatu barangpun menjadi hijabnya untuk bertemu calon mertuanya. Sampai kemudian setelah didorong-dorong oleh seorang hamba sahaya untuk "asal" menghadap dulu, dan urusan yang lain dipikir belakangan saja (urusan mahar, urusan isi rumah, urusan mobil, urusan pesawat... yang ini ngelantur..hehe)...maka berangkatlah dia. "Karena juga sudah ada orang lain yang meminang putri beliau", tutur sang sahaya. Mungkin bahasa sekarang: So don't miss it, serbuu ! :).

Kebutuhannya menghadap calon mertuanya adalah untuk melamar putrinya, namun sampai beberapa waktu berlalupun tiada kata yang dapat terungkap saat rasa menghormati yang teramat sangat menyergapnya begitu berhadapan dengan manusia termulia di semesta alam dan waktu. Saat pertanyaan manusia agung itu terlontar,"Apa keperluanmu? Apakah engkau ada keperluan?"...Ali pun masih belum bisa berkata-kata. Terbayang betapa mencekamnya saat-saat seperti itu (kalau ga percaya, coba saja sendiri...cari calon mertua). Barulah pada pertanyaan ketiga, ada sebuah kata yang tersuarakan. "Mungkin engkau kesini untuk meminang Fathimah?" tanya ketiga dari sang Nabi mulia. Sebuah jawab dari Ali: "YA". Pada akhir pertemuan kedua insan itu, tertutup dengan kalimat indah Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam, "Aku telah menikahkanmu dengan Fathimah. Maka pergilah engkau kepadanya. Dan halalkanlah ia dengan memberikan baju besi itu kepadanya". Maka potongan kebahagiaan nikmat surga itupun menurun ke bumi, sirami mereka dalam tajuk Barokah dari para penghuni langit untuk keluarga baru.

Kedua insan itu akhirnya menyatu dalam satu bahtera, menyertainya ada 3 barang pemberian ayahanda tercinta pada keluarga 4S tersebut. Keluarga yang Sangat..Sangat..Sangat...Sederhana (4S) itu hanya mempunyai sebuah kain untuk tempat tidur, Qirbah tempat air, dan bantal kulit yang diisi dengan Idzkhar (Sebuah tanaman yang beraroma harum, kemudian diambil serabutnya).

Muncul pertanyaan di hati kecil ini, Adakah kita yang bisa lebih sederhana dari pada mereka? (misal terus bisa membuat 5S ??) disaat keadaan masing-masing dari kita sekarang..baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah?

Akan disederhanakan urusannya dan dipertemukan akan sebuah kebutuhan itu. Masing-masing kita di keseharian pasti juga punya pengalaman-pengalaman menarik tentang bagaimana cara kebutuhan-kebutuhan itu dipermudah bertemu oleh kekuatan dari langit. Saat mahasiswa berkebutuhan terhadap dosennya, saat anak berkebutuhan terhadap orang tuanya, saat si sakit berkebutuhan akan hilang sakitnya dll.

Bahkan kita sendiri tdk lebih tahu tentang diri kita jika dibanding sang pemilik sebenarnya diri ini. So..Meskipun datangnya kebutuhan tidak seperti yang kita "INGINKAN", tapi pastilah itu cocok dengan kebutuhan kita, karena ditakar khusus oleh Yang paling tahu tentang diri kita.

Seorang sahabat bilang, apa saja ketika ia telah menjadi kebutuhan, memang akan selalu dipertemukan. Kegaiban memang bekerja walau kita tidak melihatnya.
Cukupkan disini, nasehat untuk diri sendiri, semoga karena perkenan Allah untuk menguatkan yang lemah, menyederhanakan yang terasa berat, membersihkan niat atas kebutuhan, memudahkan atas urusan. Termanfaatkan untuk sahabat2 semuanya (Kamil Pascasarjana Itb, Geofisika Uin, dll)

Tuesday 16 April 2013

Tentang Syukur atas CahayaNya

Tentang Adagium yang panjang:

Adagium pertama sederhananya seperti ini: yang sudah terlibat dalam tuntunan Ilahi, dalam kehidupan kesehariannya akan merasakan nikmat disetiap tuntun langkahnya maka dia tidak akan melepaskannya sampai kapanpun.Ketakutannya akan menjadikan kaum yang tergantikan dan terpenjara ruh walau raga berjalan kesana kemari karena tiada tertuntun ruh oleh Nur cahayaNya (QS 47: ayat terakhir)

Adagium keduanya adalah setiap yang melibatkan aku pasti akan menarik perhatianku, dan setiap keterlibatan yang intens terhadap suatu aktivitas akan semakin menumbuhkan benih kecintaan terhadap aktivitas itu..Ada malu jikalau telah lama tidak terlibat lalu kemudian terlibat..tapi kenapa harus malu dan tidak enak hati?

Adagium ketiga adalah Anak-anak diajarkan tanggung jawab di dalam keluarga sejak dini untuk mengganti kehilangannya atas kesempatan belajar dari alam. Yang membuat mereka akan belajar dengan mudah dan enjoy pada kemampuan motorik kasar maupun halus, kemampuan verbal, kemampuan literasi adalah proses dan keterlibatan di alam, maupun di rumah

Adagium ke4: Mahasiswa mencari tahu atas keberadaan teman sekelasnya, pada dosen yang satu rumpun. Dosen pun menghubungi yang bersangkutan, dan yang bersangkutan ternyata sudah tidak termotivasi untuk melanjutkan belajar. Maka dosen tersebut menyarankan menemui dosen walinya, dan kepada teman mahasiswa yang menanyakan telah terbilang nasehat untuk tidak perlu lagi memikirkannya dan fokus belajar untuk diri mereka,

Adagium ke 5: masih mencari ide dan hati pun enggan untuk segera bertemu tuk bertanya pendapat. Ternyata Allah kirimkan suatu hajat yang tersebab akannya pertemuan yang tertunda sampai keesokan harinya.

Friday 5 April 2013

Tentang Bahagia:


Bahagia adalah saat kecupi mujahid kecil dan bidadari dunia tatkala subuh terjelang..

Bahagia adalah untuk kesekian kalinya mencari cara agar raga mereka segera terbangkit dan basuhi dengan wudhu..

Bahagia adalah saksikan tubuh2 kecil itu sembari setengah sempoyongan dan mengucek mata, namun telah bersarung dan berukuh..

Bahagia adalah saat dapati tubuh-tubuh kecil itu terselib diantara tua muda bersaf-saf nan rapi tersaksikan para malaikat pagi..

Bahagia adalah saat tersandar tubuh si kecil di lengan ini dalam lantun dzikir pagi..

Bahagia adalah dalam dengar riuh celoteh mereka tersela nasihat sembari tinggalkan rumah mulia..tersambut peluk belahan jiwa susuli jawab salam...

Bahagia adalah saat simaki lantunan taujih ilahi tersusul murojaah hafalan mereka..ah..tertawan segenap ruh tiada habis takjubi Allah ‘Azza wa Jalla..

Bahagia adalah mengaji tuk seksamai tapak Ashabul Kahfi bersama bidadari kecil yang dekapi punggung..ah..apakah engkau sedang kenangi bacaan2 ini seperti saat kau dikandung bundamu?

Bahagia adalah saat duduk melingkar dalam nikmat bertajuk sarapan pagi, bahkan ada tangis si adik susuli candaan yang berlebih dari sang kakak adalah tambahan bumbunya ..ah..semoga sampai nanti, kalianpun juga terbiasa duduk melingkar bersama saudara2 barumu..

Bahagia adalah memeluk erat satu persatu mereka, didepan sekolah sederhana di pinggir sawah...

Sehirup nafas dijumat pagi...sejumput tanah surga didunia..
Bolehkah sedikit terlupa disertasi karenanya? :)

Mengalir semuanya, Bermuara syukur dan Doa bagi semua saudaraku, Moga bahagia tercurah disetiap jiwa dan keluarganya

Saturday 30 March 2013

Tentang anak, satu langkah kecil dulu: Detik tanpa kata



Tentang anak, satu langkah kecil dulu:

Detik tanpa kata


Suatu sore, dalam perjalanan pulang selepas bimbingan dengan promotor terpikir untuk bertukar kabar dengan si sulung. Teringat, saat beberapa hari lalu dia gencar sekali bertanya tentang siroh Rasululllah Sallallahu 'Alaihi Wasallam. Katanya mencari bahan untuk pertanyaan yang akan diajukan ke teman2 sekelasnya. “Siapa saja yang bisa menjawab 3 pertanyaan, nanti dikasih 3 hadiah yang telah disiapkan”, tuturnya. Setelah diobrolkan selama 2 hari, akhirnya 3 pertanyaan itupun siap. Hehe..ternyata hanya satu pertanyaan yang berhubungan dg siroh..Tentang, siapakah nama isteri Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam yang berasal dari Bani Mushthaliq, sedangkan satu pertanyaan lagi, khasnya anak laki-laki, siapa pemain bola terhebat didunia..sebelumnya terbersit pertanyaan tentang siapa pemain bola wanita terhebat, tapi katanya susah cari jawabnya (yang ini sengaja tdk saya ajak browsing utk mencari jawabnya, khawatir muncul gambar2 yg tdk pantas). Malam hari sebelum berangkat menuju Bandung, saya masih sempat melirik pada 3 hadiah kecil di atas meja yang telah terbungkus rapi dengan kertas hvs putih sebagai penutupnya..katanya kemudian,“Hadiahnya ‘setip’ (karet penghapus)”.

Setelah berada di kampus, dua hari kemudian baru terbersit tanya tentang kelanjutan dari hadiah2 itu. Dan sore itu sambil menuju parkiran, terasai nikmat obrolan dengan si sulung. Antusias jika diminta menceritakan apa yang telah dialaminya. Apakah semua pertanyaannya terjawab oleh temen2nya? Apakah banyak yang menjawab? Siapa saja yang dapat hadiahnya? Adalah pertanyaan2 deras dari saya. Menjawabi atas beberapa pertanyaan yg terlontar dari abahnya, Obrolan yang lucu-lucu pun hadir, sambil lalu mengomentari polah tingkah jawab dari teman-temannya..ternyata beberapa teman2nya bisa menjawab pertanyaan2 itu dan hadiah yang tersediapun sukses terdistribusi.

Sampai kemudian saya bertanya, “Kapan lagi mas buat pertanyaan dan kasih hadiah lagi?”

“Sebulan lagi”, jawabnya.

Sampai disinipun saya masih datar2 saja, “Oh sudah terjadwal ya?”

Kemudian pertanyaan susulannya, “Lah kalau besok siapa yang dapat giliran memberi pertanyaan?” Terbayang dalam benak saya, jika setiap hari ada sesi pertanyaan dan tebar hadiah, maka kurang lebih 1 bulan lagi akan tiba gilirannya lagi.

Diluar yang saya perkirankan, jawab singkatnya, “Ga ada..”

Tentu saja saya curiga, kenapa hanya Fadhiil yang mendapat tugas utk memberi hadiah kepada teman2nya..? apa dia dapat hukuman dari bu gurunya…? Karena yang lalu, saat kelas 2 ada kalanya pulang membawa PR untuk menulis beberapa baris, tersebab tidak tertib dalam sholat berjamaah.

Sehingga satu tanya lagi terlontar dari saya, “Apa mas disuruh sama bu guru untuk itu?”

“Tidak disuruh bu Guru, pengen saja kasih hadiah ke teman2”, begitu jawabnya..

Sampai beberapa detik kemudian saya sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi...Cukupkan sampai disini

Terucap dalam hati yang berkaca-kaca ini, “Anakku, ijinkan kupeluk erat dirimu”. Mohonkan pada Allah tuk jagakan ikhlas dan istiqomah. Hari itu abahmu belajar lagi darimu nak, tentang arti Bahagia dalam Berbagi.