Tuesday 11 November 2014

Tentang Pahlawan

Pahlawan tidak selalu harus menjadi nama suatu jalan, demikianpun penyematan gelarnya tidak selalu harus melalui  seremoni  penganugerahan oleh Presiden.

Bagi saya pahlawan bisa siapa saja yang mempunyai rekam jejak dan berimplikasi pada kebaikan bagi orang lain. Pahlawan adalah seseorang yang bisa dituturkan perilakunya oleh orang terdekatnya, bisa dituturkan oleh anaknya, dituturkan oleh isterinya, dituturkan oleh suaminya, dituturkan oleh orang tuanya, dituturkan oleh saudaranya, bahkan oleh teman ataupun tetangganya.

Bagi saya arti yang sederhana dari kata pahlawan adalah orang yang membuat rindu serindunya bila tak segera menjumpanya. Orang yang memberi semangat berkebaikan walau hanya sekedar mengingat kenanginya. Orang yang dalam senyapnya sebenarnya bertutur banyak kebajikan untuk ditiru dalam amal keseharian. Orang yang dalam kerjanya mendahului kata, banyak berpeluh tiada mengeluh, contohi tiada minta dicontoh. Orang yang diamnyapun adalah menggerakkan.

Pahlawan bagi bangsa seharusnya juga pahlawan bagi tetangganya, juga pahlawan bagi kerabatnya, juga pahlawan bagi adik dan kakaknya, juga pahlawan bagi orang tua dan anaknya, juga pahlawan bagi alam, tumbuhan dan hewan disekitarnya, Pahlawan bagi Isteri atau suaminya. Sudahkan kita menjadi pribadi yang terekam sebagai sosok pahlawan bagi orang-orang terdekat kita? Ijinkan saya sampaikan arti pahlawan itu dari kacamata seorang ayah:

Selepas perjalanan luar kota, kami sampai dirumah dengan rasa penat dan kantuk yang sangat. Perjalanan menyusuri punggungan Ungaran dan Merbabu kami mulai pukul 4 sore. Pengalaman pertama bagi kami sekeluarga yang sesore itu melewati jalanan tanpa lampu penerangan di pinggir jalan. Dan kami putuskan untuk jamak takhir maghrib dan isya sesampainya dirumah agar tidak terlalu malam melalui jalanan gelap itu.

Apa mau dikata, begitu masuk rumah, kami sudah terlelap entah dimana. Saya sendiri sudah ambruk begitu masuk ruang tengah. Sampai kemudian tidur saya diusik tangan kecil yang menggoyang-goyang lengan dan berkata, "Bi, aku belum sholat Maghrib dan Isya". Saya buka mata, ternyata putri kami yang membangunkan. Saya lihat jam di dinding dan sudah menunjukkan jam 23.30. Sayapun segera menjawab, "Ya nak, abi juga belum, yuk kita sholat bareng". Selesai menunaikan sholat, saya lihat putri kami menyiapkan satu persatu perlengkapan sekolahnya untuk esok hari, dari mulai buku-bukunya sampai seragam dan jilbabnya. Sampai dia menanyakan ke saya tentang jilbabnya, "Apa jilbab ini terlihat kusut?" Setalah saya amati, saya jawab,"Ya kusut". Tanpa banyak berkata lagi dia persiapkan setrika dan alasnya, dia hanya minta saya untuk menghubungkan setrika dengan kontak listrik di dinding. Karena memang kami belum memperbolehkan anak-anak untuk mandiri kalau terkait dengan listrik. Selesai mensetrika, putri kamipun minta ijin gosok gigi dan tidur. 

Saya lepas anak saya ke alam tidurnya dengan melantunkan doa sebelum tidur. Saya pandangi wajahnya dan renungi pelajaran dini hari itu. Saya hanya bilang Nak, walaupun usiamu masih 8 tahun, kamu pahlawanku hari ini. Engkau ajarkan makna Laa Lighod illal Jannah (tiada masa depan kecuali surga) dengan tanpa banyak berkata-kata. Engkau ajarkan makna kata "bersiap" pada abahmu yang sering lalai dengan kata itu.


Maka anak-anak sayapun adalah pahlawan yang hidup bagi saya.

Sabtu siang itu saya dan putra bungsu kami berjamah dhuhur di masjid Balaikota. Masjid itu menjadi favorit anak-anak kami selain karena dekat dengan rumah, juga punya tempat luncuran. Demikian anak kami menamakan sebuah tempat tinggi yang merupakan pintu gerbang masjid yang bisa digunakan untuk meluncur turun berkendara sepeda mereka. Selalu setiap selesai sholat berjamaah, si bungsu menanyakan, "Sholat Rawatib tidak?" karena saat itu kami selesai sholat dhuhur maka saya jawab " Iya, 2 rakaat". Di luar kebiasaannya, ternyata tanpa berkata-kata lagi, dia langsung berdiri mencari tempat, dan selanjutnya  melaksanakan sholat rawatib bakdiyah dhuhur. Sayapun dalam beberapa detik mentakjubinya, Masya Allah. Begitulah seharusnya setiap diri kita, setelah mendapatkan ilmu, maka selanjutnya mengamalkannya tanpa banyak bertanya lagi. Hari itupun saya memperoleh pahlawan hidup lagi.

Ya Rabb, Inna solati, wanusuki, wamahyaya, wamamati, Lillahirabbil 'alamin. Ya Rasulullah, terimalah salam rindu kami yang seringkali lalai, rindu dari kami yang seharusnya melebihi rindunya sebuah pohon kurma tempatmu bersandar kala di masjidmu.




No comments:

Post a Comment