Sunday 31 August 2014

Tentang sekolah barakah

Perjumpaan di tempat wudhu masjid Salman siang tadi menyisakan perenungan setelahnya.
Seorang sahabat yang saya kira telah selesai studi S2nya ternyata masih berjuang untuk mengejar wisuda dalam waktu dua minggu kedepan. Entah kenapa saya selalu beranggapan kalau sahabat2 Pasca yang saya temui sudah pada lulus, seperti tidak merasa bahwa saya sendiri juga seharusnya sudah waktunya lulus.

Teringat saat beliau masih menjadi pengurus keluarga Mahasiswa Islam (KAMIL) Pasca ITB, tugas apapun dikerjakan walau bersaat diuji oleh kondisi kesehatan yang kurang baik sekalipun. Dan saling bertukar kabarpun terjadi dalam waktu singkat, sampai kemudian saya tercenung ketika beliau masih dalam wajah cerianya mengatakan kalau sudah tidak tinggal dikontrakannya, dan untuk beberapa minggu kedepan masih akan bermalam di masjid Salman atau sekretariat KAMIL yang persis bersebelahan dengan Salman. Tawaran untuk tinggal di kost sayapun ditolak dengan halusnya.
"Batas waktu pendaftaran wisuda berdekatan dengan HPL istri," lanjut beliau. "Karena hasil diagnosa dokter mengharuskan nantinya proses kelahiran harus operasi cesar, maka harus mempersiapkan dan menunggui istri yang sudah duluan pulang ke daerah." Ekspresi wajahnya masih seperti saat awal kami berjumpa..sembari senyum bertutur.

Setelah saling berjanji untuk mendoakan, kamipun berpisah. Tinggallah saya merabai hikmah pertemuan singkat itu. Yang jelas dari beliau saya menjadi tahu bahwa di sekretariat KAMIL saat malam banyak tikus bersliweran di dalamnya, timbunan oleh-oleh dari para sahabat KAMIL selepas liburan ini telah menjadi magnetnya.

Selanjutnya saya dapat merasai bahwa dalam kehidupan, pernikahan, dan waktu-waktu yang dilaluinya adalah dalam kebarokahan. Bahwa dalam bersekolah harus sembari bekerja, dan menafkahi istri adalah realita, disaat sahabat yang lain tinggal berkosentrasi dalam belajar karena terpenuhi beasiswa. Bahwa diantara waktu-waktu bersama keluarga harus berbagi dengan kegiatan mengurusi umat Pascasarjana adalah yang dipilihnya, disaat sekolah dan bekerja telah menyedot bagian besar energinya. Bahwa terpisah dengan keluarga kala pertaruhan hidup dan mati yang terkasih didepan mata sangat mungkin untuk diratapi, namun tiada terbesit sedikitpun. Terlukis barokah itu saat menatapi beliau berbagi dengan wajah ceria. Tiada keluh kesah kepada sang Rabb, Tiada keraguan jaminan Allah atas rizki setiap hambaNya, menjadi dekatnya diri dengan Allah saat berlalu malam dirumahNya, menjadi bertambah tilawah dalam lembar demi lembar Al Quran dalam diamnya di masjid, sakinahnya istri walau nan jauh disana, berbaik sangka atas semua kebaikan Tuhannya dibalik semua peristiwa dan ketentuan.. maka saat bertambahnya kebaikan disetiap saatnya, disetiap manis dan pahit yang terlalui dan terjelang, itulah kebarokahan. Sebuah nikmat bernama barokah yang lebih pantas diikhtiyarkan,  bukan kebahagian saja yang dirindui dalam setiap episode kehidupan, karena dukapun adalah niscaya yang akan datang menyapa.

Melalui beliau takjubi... Potongan taman surga yang telah Allah dahulukan turun dan terselipkan pada kehidupan hamba pilihanNya.

Allaahumma  shubba 'alaihimaa khairan shabhan. Wa la taj'al 'aisyahumaa kaddan kadda.
Ya Allah, limpahkan kebaikan kepada mereka, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Janganlah kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah.

Akhirnya menyisakan pertanyaan pada diri...Apakah kebarokahan telah mengisi ataupun sekedar menghampiri hidup saya? dan Apakah sudah terpenuhi syarat bagi pengundang kebarokahan itu? 

No comments:

Post a Comment