“Mau
jadi orang besar kok kuliah di universitas kecil”. Sebuah ungkapan spontan yang
muncul di dalam hati seorang gadis puluhan tahun yang lalu saat dia dibujuk
oleh salah satu universitas untuk tidak membatalkan dan menarik kembali uang
kuliah yang sudah terlanjur dia setorkan. Pertanyaannya, kenapa sampai dia
membatalkannya? karena disaat yang bersamaan ternyata dia juga diterima di FMIPA
ITB. Seiring berjalannya waktu gadis tersebut akhirnya mengabdikan ilmunya di
almameternya. Ini sekedar intermezo untuk membuka cerita ttg kampus, dan tidak
bermaksud menyinggung siapapun karena dalam rangkaian ceritanya kepada kami
tentang bagaimana dia jatuh cinta pada Fisika ITB.
Seperti
yang telah saya share beberapa waktu lalu tentang kedatangan bp. Dahlan Iskan
di kampus, perkenankan saya juga akan share hal-hal yang menarik terkait kedatangan
pak M. Nuh dan pak Djoko Santoso (dirjen dikti/mantan rektor). Seharian kemarin
(Sabtu, 28 Agt 2012) Mendikbud berkeliling dari satu acara ke acara lainnya di
ITB. Dari pagi, beliau memberikan orasi ilmiah pada acara penerimaaan mahasiswa
baru, sampai kemudian berdialog dg mhs penerima beasiswa bidik misi di halaman
masjid Salman, memberikan kultum taraweh (kuliah 30 menit), dan ditutup
jagongan dg mahasiswa setelah sholat taraweh sampai jam 10 malam. Sebelum ke
masalah “inti” terkait UU Dikti, yg menyangkut kita baik sebagai mahasiswa
maupun dosen, ijinkan saya sedikit cerita tentang acara penerimaan mahasiswa
baru. Acara tersebut menarik agar kita bisa memetik hal positif yg mungkin bisa
juga kita terapkan di kampus tercinta masing2.
Saya
mengamati, bahwa menjadi tradisi ITB utk memperkenalkan dan menanamkan
nilai-nilai “kehebatan” ITB sejak awal kepada mahasiswanya, sejak pertama kali
mereka menginjakkan kaki mereka ditempat yg nantinya juga akan melepas mereka ketika
meninggalkan almamaternya. Tidak lain untuk membuat mereka sadar ttg beban nama
baik, dan menjadi penyemangat untuk melakukan apa yg telah ditanamkan kepada
mereka. Pidato rektor dibuka dengan Ucapan “Selamat datang calon pemimpin global” (targetnya sekarang tidak hanya
Indonesia), rektor jg mengingatkan perlunya interaksi sosial (tahun lalu ada 1
mhs bunuh diri), beliau juga mengingatkan akan adanya amanat memajukan
Indonesia dibalik kesempatan menjadi putra putri terbaik bangsa. Sidang pun
segera dilanjutkan dengan kuliah umum dari M.Nuh. Nuh pun berpesan kepada
mahasiswa baru supaya tetap bersikap jujur,
berbakti kepada orang tua, dan bekerja keras. Tentang sikap jujur, saya
pernah melewati suatu kelas yg sedang “memajang” beberapa mahasiswa yang sedang
membacakan janji, dimana janji itu ditampilkan di layar dg bantuan proyektor.
Mereka berjanji bersama-sama didepan dosen dan temen sekelasnya untuk tidak
mengulangi tindakan yg tidak jujur dalam ujian...dalam hati satu satunya
komentar saya “wow”, utk sanksi sosialnya, itu belum sanksi akademiknya. Di
kesempatan yg lain, disamping pintu ruangan TU sebuah fakultas saya pernah
membaca nama-nama mahasiswa beserta nim-nya yg ketahuan mencontek beserta nilai
awal dan disampingnya nilai akhir yg diturunkan sebagai hukuman atas
menconteknya. Saya dan seorang temen pun pernah mengawasi ujian akhir suatu
mata kuliah, dan kami juga mencatat beberapa nama mahasiswa yg kami lihat
berbuat curang, kemudian tanpa ada protes, tawar menawar, maupun negosiasi dari
siapapun, akhirnya nama yg tercatat tersebut mendapat nilai E. Sesuai aturan di
kampus, kalau mencontek ada teguran (teguran itu setelah nilai dikeluarkan,
bukan teguran saat berlangsung ujian di kelas), kemudian teguran tertulis, dan
yg ketiga di DO. Begitulah enaknya kalau konsisten dg aturan.
Kembali
ke acara sidang...Sidang dilanjutkan kembali dengan orasi ilmiah tentang
“Aplikasi Ilmu Hayati dalam Menjawab Tantangan Pangan di Abad ke-21, juga
pemberian penghargaan kepada dosen berprestasi, mahasiswa berprestasi, dan
penerima Ganesha Prize. Penghargaan ini diberikan menurut prestasi
masing-masing bidang dosen, fakultas, dan program TPB dan diberikan oleh
Akhmaloka bersama dekan dari tiap fakultas. Menarik disini bahwa mahasiswa baru sudah diperkenalkan dengan
arti dari “penghargaan dan “kompetisi”, bahkan sejak awal, dalam wujud
pemberian penghargaan. Penghargaan dari menteri pendidikan dan kebudayaan
pun diberikan untuk peraih Ganesha Prize tahun ini, Hendra (TK ‘08). Paling
tidak ada mahasiswa-mahasiswa yang dalam hatinya tercetus untuk dikemudian hari
merekalah yang berdiri didepan dan menerima penghargaan.
Saat
menjelang berbuka pak Nuh berdialog dengan para penerima beasiswa bidik misi,
mereka ditanya tentang IPK (ada mahasiswa Farmasi yang IPK 3,85), pekerjaan
orang tua, dan aktivitas di kampus. Pak nuh berpesan supaya mereka bangga
dengan orang tuanya sebagaimana beliau juga bangga dengan orang tuanya yg
mempunyai anak 10 orang walau hanya berprofesi sebagai tukang krupuk. Dan
beliau juga menganjurkan mahasiswa agar membawa orang tuanya utk diperkenalkan
ke dekan ataupun ke rektor agar orang tuanya tahu bahwa anak mereka sekolah di
tempat terbaik. Di akhir acara beliau membagikan buku Chaerul Tanjung ke semua
mahasiswa penerima beasiswa dengan maksud agar mereka termotivasi, bahwa mereka
juga akan bisa menjadi orang hebat...(memotivasi
mahasiswa lagi..)
Ba’da
sholat isya pak Nuh memberikan ceramah ttg definisi hati dan perumpaan sebuah
rumah yang mempunyai halaman depan, ruang tamu, kamar pribadi dan brankas, yang
berkorelasi dg hati (Al Shodr, Al Qalb, Al Fuad, dan Al Lub), serta 5 pohon yg
harus ditanam di halaman rumah agar mengundang sebanyak orang masuk ke rumah
untuk merasakan Islam. 5 pohon tersebut adalah: pohon Ilmu, pohon kejujuran,
pohon sabar, pohon amal, dan pohon kasih sayang, Ceramah ditutup dg syair Arab
yg beliau dendangkan...pak Kyai Nuh. Setelah shalat taraweh, saya perhatikan
Pak Nuh menjawil imam sholat. Ternyata beliau mengenali bahwa imam sholatnya
adalah keponakannya, dan mahasiswa itu memang dari tadi tdk menyapa
beliau..hehe kan jadi Imam sholat. Mahasiswa teknik sipil angkatan 2011 tsb
memang salah satu imam Salman dan benar keponakan pak Nuh. Demikian bangganya
pak Nuh karena yg mengimami keponakannya, sampai kemudian diperkenalkannya ke
ketua Yayasan Salman (yg ini tentu sudah kenal, dan hanya senyum2), dan juga
kepada dirjen dan rektor.
Menjadi
kebiasaan di masjid Salman, jika ada pejabat pemerintah datang dan sholat
taraweh, maka ada acara tambahan setelah sholat taraweh, yaitu acara jagongan
dengan mahasiswa. Jagongan karena antara para pejabat dan mahasiswa tidak ada
jarak dan bahkan bisa bersebelahan dalam posisi duduk melingkar. Malam itu
memang spesial karena menterinya pendidikan hadir, direkturnya pendidikan
tinggi hadir, rektor perguruan tingginya pun hadir. Sehingga
pertanyaan-pertanyaan mahasiswa bisa dijawab oleh orang-orang yang tepat. Isu
yang dibahas sangat beragam, mulai dari hubungan antara pendidikan dan tingkat
kesejahteraan rakyat, bagaimana pak Nuh dari dunia pendidikan dapat masuk ke
pemerintahan, kualitas guru yg gitu-gitu saja walau sudah ada sertifikasi dan
akan dilakukannya uji kompetensi, mahasiswa yang prihatin karena di daerahnya
(pedalaman Riau) murid2 tdk punya buku pelajaran dan hanya belajar dari LKS,
suka duka mahasiswa yang nekat masuk ITB tanpa punya biaya apa2 (saat itu belum
ada beasiswa bidik misi), pendidikan berkarakter dan implementasinya, peran
Kemendikbud dalam membendung budaya K Pop yang melanda remaja Islam, ada juga
mahasiswa yang ngefans dan meminta tipsnya pak Nuh karena ingin seperti beliau.
Menanggapi pertanyaan tentang bagaimana beliau masuk ke pemerintahan dan juga terkait tips, begini jawaban beliau: "Saya dulu di kampus memulai karir di masjid mulai dari nggelar kloso (tikar), kemudian naik pangkat menjadi yang mengumumkan pengumuman menjelang khotbah, kemudian yang menjemput khotib, kemudian menjadi badal khotib (khotib pengganti), dan kemudian menjadi khotib. Kesemuanya itu terjadi begitu saja, karena kita sudah dari jauh-jauh hari belajar dan mempersiapkan diri. Jadi ketika waktunya dan kesempatannya sudah datang, kita juga sudah siap. Mulai dari sekarang kalau bisa mahasiswa sudah menyapkan 3 hal, yaitu ilmu+kemampuann, networking, doa (jangan lepas dari shalat tahajud, shalat dhuha). Insya Allah kalau kalaian punya kemauan, pasti akan ada jalannya.
Menanggapi pertanyaan tentang bagaimana beliau masuk ke pemerintahan dan juga terkait tips, begini jawaban beliau: "Saya dulu di kampus memulai karir di masjid mulai dari nggelar kloso (tikar), kemudian naik pangkat menjadi yang mengumumkan pengumuman menjelang khotbah, kemudian yang menjemput khotib, kemudian menjadi badal khotib (khotib pengganti), dan kemudian menjadi khotib. Kesemuanya itu terjadi begitu saja, karena kita sudah dari jauh-jauh hari belajar dan mempersiapkan diri. Jadi ketika waktunya dan kesempatannya sudah datang, kita juga sudah siap. Mulai dari sekarang kalau bisa mahasiswa sudah menyapkan 3 hal, yaitu ilmu+kemampuann, networking, doa (jangan lepas dari shalat tahajud, shalat dhuha). Insya Allah kalau kalaian punya kemauan, pasti akan ada jalannya.
Terkait UU Dikti, menurut pak Nuh, nantinya tidak ada lagi siswa
yang berprestasi tapi tidak bisa kuliah karena alasan biaya. Karena nanti ada
bantuan pemerintah dan perguruan tinggi wajib menyediakan kursi bagi mahasiswa
yang tidak mampu. Juga nantinya ada alokasi dana sebanyak 30% bagi penelitian
dosen (Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN dari anggaran
fungsi pendidikan, yang mana paling sedikit 30% untuk dana Penelitian di PTN
dan PTS). Sehingga tidak ada lagi dosen yang tidak melakukan penelitian (semua
dosen). Tentang yang terakhir ini saya lihat di ITB sudah diterapkan, seorang
dosen paling tidak mempunyai satu hibah penelitian dari ITB/Dikti.
Ngobrol-ngobrol dengan temen dosen Jember, mungkin salah satu sebab begitu
akurnya dosen di Fisika ITB karena semua dosen punya “mainan sendiri” jadi tdk
sempat melakukan “hal lain”.
Pertanyaan selanjutnya bagi kita yang di bawah Kemenag, apakah
masing-masing dosen yang bernaung dibawah Kemenag juga akan memproleh dana
penelitian dari anggaran yang 30% tersebut? Eh pertanyaan itu sepertinya
terlalu dini untuk ditanyakan, karena sepertinya UU Dikti berlaku di lingkungan
Dikti, tidak akan berimbas pada DIKTIS...namanya juga UU Dikti bukan UU Diktis
(...ngapunten, dikoreksi kalau salah)
Salah satu pertanyaan yang menarik dan sering terjadi dimanapun
kita berada adalah masalah keterlambatan beasiswa. Seorang mahasiswa teknik
Geologi semester 6 bercerita bahwa karena cita-citanya yang begitu menggebu
untuk bisa kuliah di ITB, dia tidak lagi memikirkan bahwa orang tuanya tidak
bisa membiayai sekolah. Satu-satunya modalnya adalah NEKAT, dan saat dia sudah
diterima sebagai mahasiswa ternyata memang dia mendapat beasiswa, walaupun
katanya beasiswa tersebut sering terlambat sampai beberapa bulan. Pak Nuh
menjawab bahwa sekarang mulai dirancang bahwa beasiswa itu dianggap sebagai
upah, sehingga seperti gaji pegawai, yang setia Januari sudah pasti keluar,
tanpa harus disyahkan anggarannya melalui DPR. Karena kalau mekanismenya tidak sebagai
upah maka keterlambatan itu akan terus terjadi. Saat saya mendengar penjelasan
itu, alangkah baiknya kalau Kemenag juga punya pemikiran yang sama, sehingga
nasib kami yang harus menunggu cairnya beasiswa samapai 1 semester tidak
berulang setiap tahun. Apalagi saya dengar akan ada beasiswa keluar negeri yang
diadakan Kemenag mulai tahun ini. Jangan sampai teman2 yang nantinya berangkat
kuliah ke luarnegeri belum ada kepastian sampai berbulan-bulan lamanya tentang
nasib pencairan uang kuliah dan living costnya. Bagaimana akan bisa kuliah
dengan kosentrasi penuh, sedangkan disaat bersamaan harus mencari hutangan atau
bahkan bekerja untuk menyambung hidup...kenapa belajar untuk kepentingan negara
akan sesengsara itu?
Sudahlah...akhirnya kata itu yang akan mengakiri cerita panjang
dari sebuah perguruan tinggi yang menapaki cita-cita globalnya. Tidak perlu ada
yg diirikan, yg baik diambil manfaatnya, yg bikin iri dibuang jauh dari hati
kita. Akan indah dan banyak perbedaan bagi masa depan Universitas kita tercinta
jika model “jagongan” informal di masjid juga ada di masjid “laboratorium” kita...mahasiswa
terlatih untuk berdialog dengan santun...pejabatnyapun tidak kapok untuk juga
berbagi. Tentu saja selain dengan pejabat kampus juga dengan pejabat2 dari
Jakarta yang juga mau “mampir”. Hehehe..iseng aja, kenapa tidak banyak pejabat
yg mau mampir ditempat kita? masing-masing kita tahu jawabnya.
Akhirnya
kita bisa memandang dari berbagai perspektif, terkait pernyataan dosen saya di
awal tulisan diatas.
Yang
terus belajar dan belajar untuk berbagi
Thaqibul
Fikri N
*Info
dari Pak Nuh: Unibraw akan menerapkan kenaikan SPP progressive utk mahasiswa yang
memasuki semester 9 (ada kenaikan 15 persen), jika semester 11 belum lulus juga
SPPnya menjadi 30% dst. Karena kalau tidak tepat waktu kuliah dianggap telah
menghambat masuknya adik2nya yg baru karena dia menggunakan uang rakyat diluar
batas waktu yang telah ditentukan
No comments:
Post a Comment